Sabtu, 20 Desember 2014

Eksistensi Hutan Kemasyarakatan



Sub: Prioritas untuk kesejateraan masyarakat

Keberadaan sumberya alam hutan di Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak hanya diperuntukan bagi negara dan pembangunan nasional  namun negara juga harus mengakomodir keterlibatan dan Peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan secara lestari. Prinsip  demikian, dalam pengelolaan hutan harus sejalan dengan kepentingan penguasaan hutan oleh masyarakat. Meskipun, berdasarkan kebijakannya pembagian kawasan hutan untuk konservasi, lindung, dan produksi merupakan upaya pemerintah dalam, melestarikan sumberdaya hutan tentunya kepentingan masyarakat yang berada didalam konsesi hutan yang dikelola pemerintah tersebut tidak dapat dikesampingkan.
  Pemerintah telah mencoba mengakomodasi berbagai aspirasi yang berkembang mengenai kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat.  Tentu saja akomodasi-akomodasi yang telah dan akan dilakukan pemerintah tidak bisa begitu saja terlepas  sama sekali dari kepentingan-kepentingan pemerintah terhadap sumberdaya alam dan sistem serta mekanisme yang sudah berjalan dalam birokrasi pemerintah selama ini.[1]Misalnya seperti kebijakan HKM (Hutan Kemasyarakatan) yang secara filosofis - menurut beberapa pihak baik di pemerintah maupun ornop – merupakan pemberian atau penyerahan kepercayaan dan hak kepada masyarakat lokal untuk mengatur   kehidupannya sendiri.

Kebijakan penetapan  hutan kemasyarakatan merupakan Kedaulatan rakyat atas hutan dan sumberdaya alam yang diartikan sebagai otonomi rakyat dalam mengatur dan mengelola sumberdaya alamnya secara lestari dan berkelanjutan antar generasi hal ini akan dapat dicapai melalui kemandirian masyarakat dalam mengatur dan mengelola kehidupannya dan kebijakan pemerintah yang menghormati dan melindungi otonomi rakyat tersebut.[2] 
Kebijakan pemerintah melalui sistem dapat melindungi Hutan Kemasyarakatan (HKM) ataupun dapat menjadi ancaman bagi keberlanjutan Hutan Kemasyrakatan (HKM) . jika kebijakan tersebut memberikan ijin bagi investasi perkebunan, pertambangan, HPH, atau HTI di wilayah-wilayah Hutan Kemasyarakatan (HKM). Kebijakan pemerintah melindungi keberadaan Hutan Kemasyarakatan, jika memberikan pengakuan terhadap keberadaan Hutan Kemasyarakatan sebagai upaya pemerintah untuk memberikan kedaulatan penuh kepada rakyat untuk mengelola sumberdaya alam dan tidak mengeluarkan ijin investasi skala besar bagi pihak luar di wilayah Hutan Kemasyarakatan. Pengakuan dalam bentuk kebijakan yang tertulis dari pemerintah dapat menjadi landasan hukum bagi masyarakat yang diberi kedaulatan untuk mengelola hutan kemasyarakatan serta melindungi kawasannya dari ancaman pihak luar.[3]

            Lantas sudahkah ditetapkan kebijakan sepenuhnya untuk memberdayakan masyarakat?

Penetapan Hutan kemasyarakatan dimaksudkan untuk  pengembangan kapasitas dan pemberian akses terhadap masyarakat setempat dalam mengelola hutan secara lestari guna menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat untuk memecahkan persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, keberadaan Hutan Kemasyarakatan bertujuan untuk Meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemanfaatan sumber daya hutan secara optimal, adil dan berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup.[4]

Sebelum memanfaatkan sumberdaya hutan yang diperuntukan bagi masyarakat setempat yang berdasarkan fungsinya yaitu hutan lindung dan hutan produksi guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat harus terlebih dahulu meliputi:[5]
a. penetapan areal kerja hutan kemasyarakatan;
b. perizinan dalam hutan kemasyarakatan;
c. hak dan kewajiban;
d. pembinaan, pengendalian dan pembiayaan;
e. sanksi;
Areal kerja hutan kemasyarakatan ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan adalah kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi. Hutan Lindung dan Hutan Produksi  dapat di tetapkan jadi hutan kemasyarakatan jika belum dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan; dan menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan oleh masyarakat setempat  pada hakekatnya merupakan pola pemanfaatan hutan negara oleh sekelompok masyarakat yang berada di sekitar hutan yang ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat.
Pada dasarnya Hutan kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utama ditujukan untuk memberdayakan masyarakat (penjelasan Pasal 5 ayat 1).  Pengaturan mengenai hutan kemasyarakatan ini telah ada sebelum UU 41/99 lahir dan sudah mengalami beberapakali perubahan.  Peraturan mengenai  Hutan Kemasyarakatan  yang terakhir  adalah Kepmenhut No. 31/Kpts-II/2001. Pada dasarnya Hutan Kemasyarakatan adalah hak pengelolaan hutan negara yang diberikan pemerintah kepada masyarakat dengan jangka waktu tertentu di semua fungsi kawasan hutan baik fungsi produksi maupun fungsi konservasi. Pilihan hak yang tersedia dalam UU No. 41 tahun 1999 paling tiinggi gradasinya hanya sebatas hak pengelolaan hutan yang tentunya dengan jangka waktu terbatas.  Hak tersebut dapat dicabut kembali oleh pemrintah sewaktu-waktu atau pada waktu habis jangka waktunya. Artinya pilihan yang ada dalam UU 41/99 tidak memberikan jaminan keamanan dan kepastian pengelolaan SHK secara sustainable dalam jangka panjang.[6]

Kepentingan masyarakat atas keberadaan fungsi hutan pada hakikatnya mengandung kekuasaan yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dengan perlindungan hukum ini maka subyek hak dapat menuntut haknya terhadap setiap gangguan pihak lain termasuk negara. Artinya, kepentingan merupakan sasaran hak. Bukan hanya karena dilindungi oleh hukum melainkan juga karena adanya pengakuan terhadapnya.[7]
Untuk  memberikan jaminan serta kepastian pengelolaan Hutan Kemasyarakatan  ketertiban hukum harus diwujudkan oleh negara melalui pengaturan  hubungan hukum antara manusia dengan sumberdaya alam atau manusia dengan manusia yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam. Dengan demikian melalui penetapan hutan kemasyarakatan kelompok masyarakat berkepentingan dan memiliki hak dalam pengelolaan sumberdaya hutan serta memberikan peluang bagi  masyarakat untuk mengelola hutan secara lestari tanpa intervensi oleh negara maupun kepentingan investasi pemodal.


Penulis
Fajrian Noor


[1]Muayat Ali Mhusi, Artikel  Tantangan dan peluang pengakuan sistem hutan kerakyatan (SHK) di era Otonomi Daerah hlm. 5-6
[2] Ibid,.hlm 7
[3] Diakses dari, http://gagasanhukum.wordpress.com/2008/12/25/hukum-kehutanan-administrasi/
Siti Khotijah, artikel: Hukum Kehutanan Administrasi.
[4] Gunanegara, Rakyat dan Negara, PT Tata Nusa, Jakarta,2008, hlm. 31
[5] Ibid,.hlm 32-33
[6] Rafael Edy Bosko, Hak-hak Masyarakat Adat dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Alam, ELSAM, Jakarta, hlm 12.
[7] Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum, Edisi Ketiga Liberty. Yogjakarta. 1991.hlm 10-41.

Kamis, 20 November 2014

Celah pelanggaran hukum di sektor Perkebunan Kelapa Sawit

















Kabupaten Paser

       Produksi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Paser terbilang melimpah dukungan terhadap sektor ini begitu masif mengingat sektor perkebunan yang dikembangkan sesuai dengan letak topografi dan kontur tanah dan wilayah sehingga, sektor perkebunan menjadi salah satu tulang punggung Pemerintah Kabupaten Paser untuk meraup pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor ini sedangkan dalam perkembanganya pengelolaan sektor perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Paser tidak hanya dikelola oleh pemerintah kabupaten namun, juga turut mengakomodir keterlibatan pihak investor dan swasta dalam mengelola kelapa sawit yang notabena menurut petani sawit vegetasi tumbuhan ini boros serapan air.

          Selain usaha produksi kelapa sawit yang dikelola pemerintah maupun pihak swasta produksi perkebunan kelapa sawit juga giat digalakan oleh masyarakat  setempat. Sehingga, tidak mengherankan jika 60 persen pedesaan yang terdapat di Kabupaten Paser memiliki potensi perkebunan kelapa sawit.  Produksi kepala sawit ini tentunya memberikan keuntungan besar tidak hanya pajak retribusi atau  Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Paser dari sektor ini juga memberikan peluang lapangan pekerjaan kepada penduduk setempat.

            Selain, karena kontur tanah dikabupaten Paser dapat menyesuaikan dengan tumbuh kembang bibit kelapa sawit  kebijakan pemerintah juga memiliki andil besar terhadap sektor ini. Lantas melihat dominasi kelapa sawit sebagai sektor penyumbang PAD terbesar didaerah kabupaten banuo taka ini sudahkah kebijakan ini diterapkan tanpa menabrak aturan-aturan yang ada baik regulasi ditingkat daerah maupun ditingkat pusat ?

















            Indikasi celah pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemangku kebijakan tidak menutup kemungkinan dilakukan mengingat sektor ini, merupakan lahan basah bagi pemangku kebijakan untuk memperkaya diri sendiri dan kepentingan partai poitik pengusung. Mekanisme dalam kebijakan pemberian izin usaha perkebunan dapat menjadi salah satu indikator celah pelanggaran hukum terutama tindak pidana korupsi. Adapun, celah-celah ini dimanfaatkan oleh pemangku kebijakan melalui tahapan-tahapan izin yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah Jika merujuk pada aturan yang ada untuk mendapatkan izin Usaha perkebunan tentunya harus melalui tahapan-tahapan yang harus dilalui terlebih dahulu oleh pihak perusahaan swasta/ investor diantara tahapan tersebut sebagai berikut yaitu:
a.       Surat pernyataaan dari Kepala Desa menyatakan tanah Negara
b.      Arahan lokasi
c.       Persetujuan prinsip arahan lokasi dari Bupati
d.      Izin lokasi untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit
e.       Izin pembukaan lahan
f.       Penetapan kebun  masyarakat diluar  areal IUP-P dan IUP-B oleh Bupati usulan Camat
g.      Kesepakatan pelepasan hak atas tanah dari masyarakat diketahui oleh Gubernur  atau Bupati
h.      Izin pelepasan kawasan hutan dari Kemenhut
i.        Izin pemakaian alat berat dari Bupati
j.        Izin Lingkungan dari Gubernur atau Bupati
k.      Surat Hak Guna Usaha
          Dari tahapan-tahapan yang sudah ditetapkan ini tidak sepenuhnya berjalan dengan maksimal seperti lalainya pihak pemodal serta sikap pragmatis dalam memenuhi prasyarat yang sudah ditetapkan itu menjadi soal dan polemik berkepanjangan jika pemerintah daerah kabupaten Paser tidak empati dan tegas dalam mengambil sikap. Tentunya, persoalan ini akan menimbulkan efek negatif  yaitu prilaku semena-mena dan tidak taat aturan dilakukan oleh pihak perusahaan swasta bahkan tidak dapat menutup kemungkinan loggarnya  kebijakan tersebut akan menimbulkan kerusakan lingkungan disekitar area usaha perkebunan.

        Kebijakan, yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Paser untuk sektor  perkebunan menjadi tolak ukur keberlangsungan sektor usaha perkebunan dimasa yang akan datang namun, yang terpenting adalah kebijakan yang berlakukan betul-betul untuk kesejahteraan masyrakat di Kabupaten Paser bukan mengeluarkan kebijakan yang hanya bertujuan untuk meraup keuntungan dan kekayaan pribadi penguasa atau golongan tertentu.

          Sektor perkebunan memang tidak sepenuhnya menjadi pusat perhatian dibandingkan dengan sektor-sektor lainya seperti pertambangan maupun kehutanan. Namun, jika ditelaah lebih detail sektor ini justru menjadi sarang bagi penguasa untuk memperkaya diri melalui sistem kebijakan yang longgar dan tebang pilih sementara, begitu juga dengan dukungan  pihak investor yang terkesan pragmatis yang menghalalkan segala cara meskipun menabrak aturan yang berlaku sehingga izin dapat diterbitkan dengan mengenyampingkan syarat-syarat yang ada. Indikasi tindak pidana korupsi di sektor perkebunan bukan tidak mungkin saat ini sudah dilakukan oleh pemangku kebijakan di Kabupaten Paser  hanya saja belum sepenuhnya dapat dipublikasikan selain karena pemerintah daerah melakukanya dengan rapi tanpa tersentuh oleh penegak hukum. Kecendrungan masyarakat yang apatis semakin melangnggengkan praktek korupsi ini kian menjamur bahkan ke akar rumput setingkat aparat desa pun juga ikut bermain dalam meraup keuntungan dari sektor ini. 















             Jika persoalan itu, menjadi tolak ukur maka celah-celah tindak pidana korupsi yang mungkin bisa saja dilakukan melalui kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Paser indikatornya adalah sebagai berikut;[1]

Pada tahap pelaksanaan kegiatan di sektor perkebunan, korupsi dapat terjadi antara lain pada:
              i.      Tahap penyusunan Amdal
Korupsi dalam tahap penyusunan Amdal umumnya dilakukan dengan melakukan suap atau gratifikasi kepada pejabat penyusun Amdal (Komisi Amdal dan BPLH), agar pejabat penyusun Amdal mempercepat pembuatan Amdal tanpa perlu melakukan verifikasi mendalam terhadap kondisi kelayakan lingkungan atau memanipulasi data dampak terhadap lingkungan. Rawan suap juga terjadi karena tempat pertemuan dan pembiayaan rapat dibayar oleh perusahaan.

            ii.      Tahap perolehan lahan untuk perkebunan
Lahan untuk perkebunan dapat berupa kawasan hutan atau non kawasan hutan (atau dikenal dengan sebutan Areal Penggunaan Lain – APL). Jika lahan tersebut berada di dalam kawasan hutan, maka (calon) pengusaha kebun wajib mendapatkan izin pelepasan kawasan agar dapat mengusahakan kawasan tersebut.

Beberapa pola korupsi yang dapat terjadi tahap ini adalah:
-          Suap atau gratifikasi untuk mendapatkan izin pelepasan kawasan yang menyalahi Rencana Tata Ruang, misalnya memberi suap kepada pejabat di Kemenhut agar dapat membuka kebun di dalam kawasan hutan lindung.
-          Suap atau gratifikasi untuk mendapatkan izin lokasi yang menyalahi aturan. Ijin Lokasi ini merupakan ijin awal yang harus dimiliki perusahaan untuk mendapatkan lokasi investasi dan melakukan pembebasan lahan terhadap masyarakat.
-          Menyalahgunakan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri. Modus ini digunakan dalam pengadaan dan pelepasan tanah untuk kebun sawit dimana pejabat pemerintah tidak membayar ganti rugi  kepada masyarakat.Modusnya perusahaan sawit mengajak aparat pemerintah (pejabat di Dinas Pertanian, Camat, Kapolsek, Danramil serta Kades), untuk ikut melakukan pembebasan lahan dan pembayaran ganti rugi lahan masyarakat. Namun kerap ditemukan pagu pelepasan lahan dari perusahaan disunat oleh oknum pemerintah ini ketika melakukan pembayaran kepada masyarakat. Bentuk korupsi lainnya dalam tahap ini adalah mengajukan izin pelepasan kawasan untuk perkebunan sawit, tetapi yang dilakukan di kawasan tersebut justru menebang kayu dan setelah mendapatkan kayu, perkebunan sawit tidak kunjung ditanam.

          iii.      Tahap kegiatan perkebunan
Pada tahap ini, korupsi umumnya terjadi dalam bentuk:
-          Suap atau gratifikasi agar dapat melakukan usaha perkebunan di areal seluas ≥ 25 Ha tanpa Izin Usaha Perkebunan (IUP)
-          Suap atau gratifikasi agar memperoleh IUP walaupun kawasan atau lahan yang diajukan tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Kalaupun lokasi yang dimintakan izin sesuai dengan RTRW, seringkali pengusaha harus membayar untuk mendapatkan IUP, bahkan hingga mencapai Rp. 50 juta
-          Suap atau gratifikasi untuk mendapatkan IUP tanpa Amdal dan/atau izin pelepasan kawasan dan/atau izin lokasi
-          Suap atau gratifikasi untuk mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU) tanpa izin pelepasan kawasan dan/atau izin lokasi dan/atau IUP. Dalam proses pengurusan ini, biasanya ada proses tarik-ulur antara perusahaan dan pemerintah, dalam hak ini BPN Pusat, yang berkepentingan menerbitkan HGU. Ada sebagian perusahaan menunda-nunda pengurusan HGUnya demi menghindari pajak bumi dan bangunan. Anehnya, tidak ada satu pihak pun yang merasa berkepentingan untuk menghukum perusahaan yang menghindari pajak ini.Dari situasi ini, penulis berasumsi dinas pertanian dan dinas perpajakan sepertinya terindikasi menerima suap sehingga tidak melakukan tindakan apapun.

     Selain itu, ketika perusahaan melakukan pengurusan HGU, panitia B (pihak pemerintah yang diwakili oleh pemkab, pemprov, BPN kab, BPN prov dan bapedalda, kerap meminta fasilitas dar perusahaan untuk melakukan pengukuran lahan, pertemuan dengan banyak masyarakat soal sengketa lahan dan lain sebagainya. Itu belum termasuk biaya administrasi yang harus dikeluarkan ketika pengurusan HGU.

       Berdasarkan tahapan-tahapan itu, menjadi mata rantai yang melibatkan berbagai element seperti dari lembaga pemerintah kabupaten, meskipun sulit untuk membuktikan keterlibatan Pemerintah Kabupaten Paser lantaran tidak terbukanya pihak pemerintah kabupaten untuk menganalisa dokument perizinan disektor perkebunan kelapa sawit. Namun, jika berdasarkan karakteristik umum pelanggaran/perbuatan melanggar hukum yang sering dilakukan oleh perusahaan diantaranya yaitu perbuatan didalam kawasan hutan tanpa hak/izin, perbuatan atas hasil hutan tanpa izin dan pengrusakan hutan.
Padahal,  didalam UU Perkebunan No. 18 Tahun 2004 disebutkan beberapa jenis perbuatan yang akan dikenakan ketentuan pidana yaitu:
1)      Setiap orang yang dengan sengaja melakukan usaha budi daya tanaman perkebunan dengan luasan tanah tertentu dan/atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas tertentu tidak memiliki izin usaha perkebunan
2)      Setiap orang yang karena kalalaiannya melakukan usaha budidaya tanaman perkebunan dengan luasan tanah tertentu dan/atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas tertentu tidak memiliki izin usaha perkebunan
3)      Setiap orang yang dengan sengaja membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup
4)      Setiap orang yang melakukan pengolahan, dan/atau pemasaran hasil perkebunan
5)      dengan sengaja melanggar larangan:
a.       memalsukan mutu dan/atau kemasan hasil perkebunan;
b.      menggunakan bahan penolong untuk usaha industri pengolahan hasil perkebunan; dan atau
c.       mencampur hasil perkebunan dengan benda atau bahan lain; yang dapat membahayakan kesehatan  dan keselamatan manusia, merusak fungsi lingkungan hidup, dan/atau menimbulkan persaingan usaha tidak sehat,
6)      Setiap orang yang dengan sengaja melanggar larangan menadah hasil usaha perkebunanyang diperoleh dari penjarahan dan/atau pencurian.

      




 Penegasan yang sudah termaktub secara jelas didalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan  tentu menjadi landasan normatif yang mengikat dan harus ditaati bukan hanya diterpakan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Paser saja namun, juga harus ditaati oleh pihak investor/ pemodal dan yang lebih terpenting adalah kesadaran masyarakat yang cenderung pragmatis agar juga turut serta dalam mentaati aturan yang ada. Sehingga, dengan adanya ketaatan dan sadar hukum celah-celah tindak pidana korupsi didalam sektor perkebunan dapat diminimalisir dan pengeloaan hasil perkebunan dapat dilaksanakan selaras dengan perkembangan jaman serta diperuntukan sebesar-besarnya demi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Kabupaten Paser.


Penulis
Fajrian Noor

09/11/2014
Desa Simpang Pait Kecamatan Long Ikis Kabupaten Paser


 















                [1] Dikutip dari Panduan Investigasi Korupsi Tata Guna Hutan dan Lahan, Indonesia Corruption Watch, 2012, hal. 4.

Rabu, 22 Oktober 2014

Reforma Agraria Demi Keadilan Sosial dan Kesejahteraan Rakyat Kaltim


Hakikat dari Reforma Agraria pada dasarnya merupakan penataan kembali, struktur pemilikan, penguasaaan dan penggunan tanah/wilayah  demi kepentingan rakyat kecil seperti, petani kecil, penyakap dan buruh tani tak bertanah sehingga , prinsipnya jelas bahwa tanah untuk penggarap dan makna “agraria” bukan sebatas “tanah” (kulit bumi) juga bukan sebatas “pertanian” melainkan “wilayah” yang mewadahi semuanya.
Sedangkan, secara konstitusional UUD NKRI 1945 dalam Pasal 33 ayat 3 telah memberikan landasan bahwa, bumi dan air serta kekayaaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan  untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehingga, dapat diketahui bahwa kemakmuran masyarakat lah yang menjadi tujuan utama dalam pemanfaatan fungsi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Kemudian,  dipertegas kembali didalam Pasal 1 ayat 1 s/d 5) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria yang merumuskan bahwa, “Bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan yang terkandung di dalamnya ………!’ Inilah “agrarian”! Selain permukaan bumi, juga butuh bumi di bawahnya (ayat 4); juga yang berada di bawah air. Dalam pengertian air, termasuk laut (ayat 5). Yang dimaksud ruang angkasa ialah ruang di atas bumi dan ruagn di atas air (ayat 6). Demikian pula Pasal 4 ayat 2.[1]
            Penegasan didalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria ini. Menjadi landasan hukum bagi pembentukan Undang-undang sektoral lainya yang memiliki keterkaitan dengan proses Reforma Agraria seperti, sektor pertanian, sektor pertambangan, Serta sektor kehutanan.  Namun, keberadaan regulasi ini belum cukup, untuk membenahi persoalan pelik yang kerap menjadi konflik di masyarakat alih-alih kebijakan pro rakyat justru faktanya, pemerintah ditingkatan daerah  justru berbalik menggerogoti sumber daya alam untuk kepentingan pribadi melalui berbagai kebijakan dalam tata kelola sektor agraria.
            Padahal, Land Reform  seyogjanya, bertujuan untuk mengubah struktur masyarakat dari susunan masyarakat warisan stelsel feiodalisme dan kolonialisme menjadi susunan masyarakat yang lebih adil dan merata sedangakan, tujuan lainya agar sedapat mungkin rakyat mempunyai asset produksi sehingga lebih produktif dan pengangguran dapat diperkecil. Kebijakan Neo-Liberalisasi dan ekonomi internasional melalui kebijakan yang saat ini dan pernah dijalankan seperti kebijakan GATT/WTO/AFTA/APEC/AOA. Belum sepenuhnya berjalan dengan maksimal, kegagalan pemerintah secara tegas harus diterpakan pertanggung jawaban pasalnya, kebijakan tersebut nyatanya tidak pro dengan rakyat. Terbukti, masih banyaknya penganggugaran serta masyarakat yang masih hidup dibawah garis kemiskinan.
            Disisi lain, Gerakan Reforma Agraria mempunyai tantangan yang sangat berat  karena sejak orde baru, para petinggi nasional sadar atau tidak sadar sudah terlanjur terseret kedalam pemikiran neo-liberal, dengan masuk kedalam komitmen-komitmen politik dan ekonomi internasional seperti GATT/WTO/AFTA/APEC/AOA bahkan, komitmen tersebut hingga saat ini, berlanjut dengan adanya kebijakan  MP3EI (Masterplane percepatan Pembangunan Indonesia) yang akan dicanangkan pada tahun 2015.
Pertanyaanya, mampukah rakyat bersaing menghadapi kebijakan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dengan prinsip  neo riberalisme ditengah persoalan kemiskinan yang membelit dan  apakah kebijakan itu merupakan tantangan atau sebuah ancaman bagi rakyat? Lantas, bagaimana kebijakan neo liberalisme ini ditingkatan daerah apalagi Kaltim menjadi titik wilayah yang akan menjadi bagian dari kebijakan pasar bebas melalui program MP3EI (Masterplane percepatan Pembangunan Indonesia) apakah sudah sesuai mengedepankan prinsip Reforma Agraria ?
Kebijakan percepatan pembangunan daerah tidak terlepas dari penggunaan  sumber daya  alam  agraria. Beragam konsesi diberlakukan pemerintah pusat maupun ditingkatan daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dari berbagai sektor yang masuk dalam kategori agraria seperti, sektor pertambangan, kehutanan dan pertanian. Alih-alih kebijakan, pemerintah untuk kesejahteraan rakyat namun, dalam pelaksanaannya kerap berbenturan dan menabrak aturan yang ada.
Semisal, ditingkatan pemerintah daerah pemanfaatan lahan kerap menjadi persoalan lantaran berorientasi kepentingan tertentu baik oleh pemangku kebijakan, pemodal asing dan masyarakat meskipun secara gamblang belum terpublikasikan namun, program pemerintah yang mengacam keberlangsungan sektor agraria mulai terlihat. Seperti kebijakan pemerintah pusat melalui program MP3I (master plane percepatan pembangunan Ekonomi indonesia) meskipun, masyarakat masih menilai positif kebijakan ini, sementara jika ditelaah lebih dalam justru program ini akan menyengsarakan masyarakat Kaltim khususnya Kota Balikpapan.
Kota Balikpapan merupakan salah satu titik pelaksanaan kebijakan MP3EI di Kaltim yang akan dicanangkan pada tahun 2015 mendatang sehingga, Pemerintah Kota Balikpapan sudah pasang badan untuk menyambut program ini melalui pembangunan Kawasan Industri Kariangau  (KIK) yang berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Balikpapan menempatkan kawasan tersebut sebagai pusat  Jasa industri minyak dan gas di Balikpapan.
Lantas bagaimana kesiapan Kota Balikpapan untuk menghadapai  kebijakan MP3EI pada tahun 2015 ini apakah masih mengedepankan Reforma Agraria demi keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat Balikpapan?
Kebijakan Pemerintah Kota Balikpapan, tidak meletakkan masalah Reforma Agraria sebagai basis pembangunan tanah sejogyanya sebagai salah satu sumber agraria malahan dijadikan “komoditi strategis”, untuk memfasilitasi kepentingan pemodal. Berkaca dengan kebijakan, yang saat ini diberlakukan oleh pemerintah daerah kota Balikpapan dalam penaataan fungsi agraria berdalih sebagai bentuk kebijakan pemerintah daerah untuk percepatan pembangunaan demi kesejahteraan rakyat namun,  ijin eksploitasi dan eksplorasi atas lahan tanah pada pelaksanaannya justru menabrak aturan dan mengenyampingkan fungsi pelestarian lingkungan hidup sehingga, kebijakan yang kerap diambil justru berdampak pada kerusakan lingkungan yang merugikan masyarakat walaupun ijin yang diberlakukan sudah ditetapkan namun, pada implementasinya bertolak belakang dengan tujuan hukum yaitu kepastian, kemanfaatan dan keadilan.
Selain itu, polemik juga kerap terjadi terkait fungsi tanah untuk kepentingan masyarakat dikota Balikpapan, tumpang tindih sertifikat menjadi persoalan pelik yang masih menjadi polemik berkepanjangan pasalnya, dari presentasi yang terjadi 35 % kasus pertanahan yang terjadi tidak bisa diselesaikan oleh BPN Balikpapan. Hal ini sangat jelas bukan tujuan dalam reformasi dibidang agraria lantaran tidak bisa memberikan jaminan kepastian hukum terhadap  status kepemilikan sertifikat hak atas tanah yang tidak dapat dilakukan proses balik nama lantaran penuh dengan KKN dan kepentingan oknum-oknum dilembaga-lembaga tersebut untuk memperkaya diri. Padahal, sangat jelas prinsip tujuan hukum yang meliputi kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum merupakan cita-cita dalam supermasi hukum di Negara ini.

Menolak kebijakan MP3EI yang dilaksanakan di Kaltim  karena bertolak belakang dengan prinsip Reforma Agraria.
            Kebijakan, MP3EI  barangkali merupakan konsekuensi warisan masa orde baru pimpinan Presiden Soeharto masa itu dengan slogan “melaksanakan pancasila dengan murni dan konsekuensi” namun, justru menciptakan penyimpangan yang melahirkan sejumlah kontradiksi diantaranya, pemerintah kian sentralistik dan otoriter sehingga kebijakan dibidang ekonomi semakin ramah terhadap kapitalis internasional (IMF,ADB,Word Bank  dan sebagainya), selain itu, fungsi negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia justru mengalami distorsi karena pemberhangusan terhadap hak politik rakyat selaku pemilik kedaulatan kian kehilangan akses baik terhadap institusi negara maupun atas SDA yang menjadi sumber penghidupan lantaran kapitalis internasional kian merajalela mengeruk kekayaan alam.
            Ramahnya negeri ini terhadap kapitalisme kemudian memasuki babak baru melalui Rezim pemerintahan SBY  saat ini, tak ubahnya rezim neo orde baru yang mengekalkan kapitalisme menilik kebijakan liberalisme ekonomi sejak pemilu 2004-2009 sangat jelas berorientasi mendukung dan sangat bergantung dengan pasar bebas terlihat karena ketergantungan Indonesia pada  kapitalisme pusat dan tunduk pada mekanisme pasar bebas. Kebijakan MP3EI yang akan dicanangkan pada tahun 2015 bisa saja melatarbelakangi ketergantungan tersebut.
            Pasar bebas, melalui kebijakan MP3EI Ini dilakukan sebagai realisasi dari keinginan para pemimpin Negara ASEAN pada KTT ASEAN di kuala lumpur Desember 1997 yang memutuskan untuk mentransformasikan ASEAN menjadi kawasan yang stabil, makmur, dan berdaya saing tinggi dengan tingkat pembangunan ekonomi yang merata serta kesenjangan sosial ekonomi dan kemiskinan yang semakin berkurang.
Adapun Indikator dampak negatif yang dialami oleh masyarakat Kaltim dengan adanya pasar bebas kebijakan MP3EI diantaranya;

1.      Mematikan sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) masyarakat lantaran tidak mampu bersaing dengan investor asing.
2.      Sistem seleksi tenaga kerja tidak objektif karena kebijakan ini memberikan peluang kepada tenaga kerja yang berasal dari negara-negara ASEAN.
3.      PHK yang diterima oleh Tenaga kerja, jika tidak mampu bersaing lantaran SDM dari tenaga kerja asing lebih mumpuni.

Indikator ini barangkali, bisa menjadi rujukan bagi Pemerintah Kota Balikpapan untuk mengutamakan sumber daya manusia (SDM) pekerja pribumi agar mampu bersaing dalam masyarakat ekonomi ASEAN tersebut sedangkan ketergantungan pemerintah terhadap kebijakan MP3EI tentunya juga sangat bergantung pada kesiapan dalam sektor agraria. Mengingat, Kaltim memiliki sumberdaya alam yang melimbah di sektor pertambangan, sektor kehutanan dan sektor perkebunan barangkali Pemerintah Kota Balikpapan harus ambil sikap untuk menolak kebijakan pemerintah yang mengekalkan pasar bebas melalui program MP3EI. Meskipun, Pemerintah Kota Balikpapan saat ini sudah melakukan persiapan yang matang guna menghadapi kebijakan neo liberalisasi ekonomi tersebut. Melalui pengembangan Kawasan Industri Kariangau (KIK) tetap saja belum menjamin sektor agraria dimanfaatkan secara berimbang dan mengedepankan prinsip pelestarian lingkungan.
Pada dasarnya pembangunan nasional yang dilaksanakan selama ini merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Guna mencapai tujuan tersebut, pelaksanaan pembangunan harus senantiasa  memperhatikan keserasian, keselarasan, dan kesinambungan berbagai unsur pembangunan, termasuk dibidang pertambangan. Dengan demikian guna mempercepat terlaksananya pembangunan ekonomi Nasional dalam menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka perlulah dikerahkan semua dana dan daya untuk mengolah dan membina segenap kekuatan ekonomi potensiil dibidang pertambangan menjadi kekuatan ekonomi riil.
            Lalu, sumber daya alam termasuk batubara ditegaskan dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 33 ayat (3) yang kemudian diwujudkan dalam Pasal 1 poin (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Pertambangan Mineral dan Batubara yang berbunyi “Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang”.[2]
Kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan kegiatan usaha pertambangan diluar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan. Dengan mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional pertambangan mineral dan batubara perlu dikelola dengan sebaik mungkin untuk mencapai tujuan kesejehteraan dan hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu  pengelolaan mineral dan batubara harus secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan.

Sektor pertambangan sejogyanya merupakan upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi kedalam strategi pertambangan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi kini dan generasi masa depan memerlukan adanya prinsip kehati-hatian yang harus dipegang teguh dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan ketentuan mengenai usaha pertambangan nasional perlu disempurnakan terutama yang berkaitan dengan lingkungan hidup, termasuk di dalamnya peningkatan peranan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan berskala besar dan atau berisiko tinggi.

Lingkungan hidup yang sehat merupakan hak asasi setiap warga Negara Indonesia sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga pertambangan yang dilaksanakan harus berwawasan lingkungan hal ini seiring dengan semakin menurunnya kwalitas lingkungan yang semakin mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya sehingga diperlukannya suatu upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten demi menjamin perikehupan manusia dan mahluk hidup lainnya.
Penjelasan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dapat dipahami bahwa ;”pada dasarnya semua usaha atau kegiatan pembangunan menimbulkan dampak terhadap lingkungan” sehingga perencanaan awal suatu usaha atau kegiatan pembangunan sudah harus memuat perkiraan dampak yang penting terhadap lingkungan untuk diketahui secara lebih rinci dampak negatif dan positif yang akan di timbulkan dari usaha atau kegiatan tersebut sejak dini sehingga upaya pengendaliannya dapat dipersiapkan sejak dini dan mengembangkan dampak positifnya. Oleh karena itulah sangat diperlukannya analisis terhadap Perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh adanya suatu usaha atau kegiatan guna untuk mengendalikan dampak yang diakibatkan oleh usaha pertambangan.
Dampak yang penting ditentukan dalam analisis dampak lingkungan dan pengelolaan lingkungan hidup diantaranya : [3]
1.      Besar jumlah manusia yang akan terkena dampak.
2.      Luas wilayah penyebaran dampak.
3.      Lamanya dampak berlangsung
4.      Intensitas dampak
5.      Banyaknya komponen lingkungan lainnya yang akan terkena dampak.
6.      Sifat kumulatif dampak tersebut
7.      Berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irrevesible) dampak.
Tujuan yang diharapkan dengan perlunya analisis dampak lingkungan dalam pengelolaan sumber daya alam khusunya pertambangan agar pemerintah dapat membantu golongan ekonomi lemah yang bidang usahanya diperkirakan akan menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan serta pemerintah diharapkan dapat membantu menganalisis dampak lingkungan.
Pada tataran realitas analisis dampak lingkungan yang merupakan instrumen pengaman lingkungan untuk masa depan belum berjalan dengan maksimal sebagaimana yang diamantkan oleh Undang-Undang. Banyaknya pelanggaran dalam pengelolaan sumber daya alam batubara yang dengan mudah diberikan izin eksplorasi dan eksploitasi oleh pemerintah sekalipun sudah dijabarkan dalam Pasal 23 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengatur tentang kriteria jenis usaha/ atau kegiatan yang berdampak penting  yang wajib dilengkapi dengan amdal yaitu : “eksploitasi sumber daya alam baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan”. kurangnya pengetahuan dan pemahaman pemerintah dalam pengelolaan lingkungan serta tajamnya unsur politik yang mengakibatkan terabaikannya fungsi lingkungan.

Prinsip-prinsip dasar kebijakan pembangunan hukum lingkungan tersebut dalam prakteknya masih amat memprihatinkan. Sampai sekarang masih banyak kasus hukum lingkungan yang menampakkan kecenderungan pengabaian nilai-nilai, hak, kewajiban, peran masyarakat serta wewenang dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dalam pengelolaan lingkungan hidup setiap orang belum mempunyai hak yang sama untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagai akibat dari kerusakan ekosistem seperti lingkungan dan kerusakan sumber daya alam.[4]

Otonomi daerah membuat daerah mengeluarkan berbagai kebijakan yang tidak kondusif bagi pelestarian lingkungan, karena mengejar nilai PAD (Pendapatan Asli Daerah). Penambangan Secara besar-besaran terus dilakukan tanpa memperhatikan aspek kelestraian lingkungan. Berkaca dengan polemik agraria di sektor pertambangan yang saat ini terjadi dibeberapa kota/kabupaten di Kaltim seperti, Pemberian izin dalam usaha pertambangan khusunya di wilayah kabupaten Tanah Paser dan Kabupaten Penajam Paser Utara serta Kota Samarinda  sangat memprihatinkan bahkan sebagian besar pertambangan batubara yang ada di wilayah tersebut tidak memperhatikan aspek-aspek dalam pengelolaan lingkungan hidup yang baik.

Berdasarkan hal tersebut di atas menunjukkan lemahnya komitmen penegakan hukum lingkungan khusunya terhadap pertambangan batubara yang dapat berakibat semakin menurunnya kwalitas lingkungan yang semakin mengancam kelangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya. Langkah dalam penegakan hukum lingkungan seyogyanya merupakan langkah yang harus serius dilakukan oleh pemerintah dalam menjaga kelestarian fungsi lingkungan antar generasi, kurangnya pengetahuan dan pemahaman aparat penegak hukum serta tajamnya unsur politik dalam pemberian izin pertambangan batubara yang merupakan kendala dalam penegakan hukum lingkungan.

Mencermati langkah antisipatif dengan pola pengembangan dalam usaha pertambangan sebagaimana yang disebutkan di atas sudah seyogyanya dilakukan oleh pemerintah dengan prinsip good mining practice pada semua tahapan dalam pengelolaan sumber daya pertambangan batubara dengan tujuan agar tercapainya pemanfaatan sumber daya alam secara berkeseimbangan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi lingkungan. Oleh karena itu tahapan-tahapan yang perlu dilakukan dalam setiap mengambil keputusan dalam tahapan pertambangan harus didasarkan pada tiga kriteria yang berbasis pada permasalahan lingkungan environment problem dan sosial ekonomi masyarakat disekitar pertambangan seperti:
1.      Perlindungan hukum dan kepentingan masing-masing pihak.
2.      Potensi ancaman terhadap hak-hak masyarakat (comunity rights) yang bersumber dari rusaknya lingkungan hidup dan dampak lanjutannya.
3.      Potensi ancaman terhadap masa depan kesejahteraan hidup manusia.[5]

Usaha pertambangan yang baik dan benar diharapkan mampu membangun peradaban yang mampu memenuhi ketentuan-ketentuan, kriteria, kaidah, dan norma-norma yang tepat sehingga pemanfaatan sumber daya pertambangan batubara dapat memberikan manfaat yang seoptimal mungkin dan dampak buruk yang seminimal mungkin.

Lantas, bagaimana komitmen Pemerintah Kota Balikpapan jika Berkaca dengan polemik Agraria yang terjadi di beberapa Kota/ Kabupaten di Kaltim tersebut?
            Berkaca, dengan polemik agraria didaerah lain dikaltim seperti di Kabupaten Paser, Kota Samarinda dan Kutai Kertanegara yang memberikan ijin kepada pihak pemodal untuk mengelola sumberdaya alam di berbagai sektor seperti sektor pertambangan, kehutanan dan perkebunan tentunya, membuat pemerintah Kota Balikpapan harus berkomitmen agar tidak sejalan dengan kebijakan pemimpin daerah lainya di Kaltim yang memberikan keleluasaan melalui pemberian ijin eksploitasi dan eksplorasi kepada pihak investor atau pemodal untuk menggaruk sumber daya alam yang ada di Provinsi terbesar di  Indonesia ini.
            Keresahan publik sangat beralasan untuk mempertanyakan komitmen pemerintah daerah dalam menjaga kota Balikpapan bebas pertambangan. Terlebih, pasca masa transisi tampuk kepemimpinan dikursi DPRD Balikpapan belum dapat menjamin komitmen bebas tambang akan terus berjalan lantaran, pada tahun 2015 Kaltim  akan menghadapi tantangan liberalisasi ekonomi melalui kebijakan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sehingga tidak menutup kemungkinan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam agraria akan dibuka lebih masiif lagi di Kalrim. Sementara, bagi pemangku kebijakan di daerah, program ini menjadi salah satu upaya pemerintah daerah untuk dapat  mensejahterakan masyarakatnya. Namun, disisi lain mengorbankan berbagai  aspek seperti  keberlangsungan hayati sumber daya alam Kaltim.
Pertanyaan nya, mampukah sumber daya alam Kaltim menyokong kebijakan itu, mengingat saat ini saja pemberlakuan kebijakan oleh Pemerintah daerah untuk pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam di Kaltim kepada pihak investor sudah sedemikian leluasa. Tak ayal, ketegasan pemangku kebijakan juga patut dipertanyakan dalam pemberian ijin kelola sumberdaya alam yang ada di Kaltim. Mengingat saat ini saja, sudah banyak terjadi kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh sektor pertambangan seperti tidak berjalanya sistem jaminan reklamasi tambang. Sehingga, jangan heran jika dilihat dari citra satelit hutan-hutan diKaltim banyak yang berlubang dan ditinggalkan begitu saja tanpa ada upaya untuk merehabilitasi kembali lahan itu melalui reklamasi  pasca tambang.
Tidak berjalanyan jaminan reklamasi tambang dan lubang  pasca tambang dibiarkan dan ditinggal begitu saja, memang bukan perkara baru terjadi di Kaltim sehingga, menjadi cerita lama yang tidak berkesudahan. Beragam LSM berbasis lingkungan dibentuk sebagai upaya kontrol  untuk mengingatkan pemerintah daerah agar tidak seenaknya memberikan ijin kepada pihak perusahaan untuk membuka konsesi diwilayah hutan Kaltim namun, apa daya kebijakan pemerintah daerah saat ini saja sulit dibendung apalagi menghadapi kebijakan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) tidak menutup kemungkinan ijin-ijin kuasa pertambangan baru bakal disahkan oleh pemerintah daerah.
            Menghadapi itu, tentunya di kota Balikpapan juga demikian harus ada upaya preventif untuk menekan kebijakan dalam memmberikan Ijin usaha eksplorasi dan eksploitasi lahan untuk konsesi pertambangan. meskipun, saat ini pemerintah Kota Balikpapan masih memegang teguh komitmen Balikpapan bebas tambang. Lantas, apakah komitmen yang sudah berjalan ini menjamin dimasa yang akan datang masih terbebas dari pertambangan? Terlebih, tampuk kepemimpinan kepala daerah pada tahun 2015 ini akan berganti dan ditahun itu pula kebijakan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) juga sudah berjalan ?
Jika mengamati Rencana Tata ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Balikpapan sudah jelas tidak menempatkan pembagian wilayah untuk konsesi pertambangan meskipun demikian lantas tidak menutup kemungkinan pembukaan lahan untuk kuasa pertambangan juga akan dilakukan. Mengingat, pergantian tampuk kepemimpinan di legilslatif lalu, pergantian kepala daerah di 2015 mendatang tentunya kebijakan yang dikeluarkan akan berbeda. Regulasi yang ada saat ini seperti perda RTRW Nomor 12 Tahun 2012  belum dapat sepenuhnya memberikan jaminan kepastian hukum bagi masyarakat pasalnya, demi kepentingan politis aparatur pemerintahan daerah tidak segan-segan melakukan pembangkangan dengan melakukan pembiaran atas pelanggaran terhadap tata ruang yang ada. Terlalu banyak contoh di Kota Balikpapan lantaran, tata ruang dikembangkan untuk daerah resapan, daerah hijau dikembangkan menjadi daerah-daerah komersil dengan eksplorasi lahan untuk industri dan bangunan diatasnya.
            Hal ini kemudian bertolak belakang dengan UU No 32  Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang menyatakan bahwa pemerintah berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup masyarakat dapat tetap menjadi sumber lain dan penunjang hidup bagi rakyat serta makhluk hidup lainya. Sedangkan keterkaitanya dengan fungsi ruang wilayah Sebagaimana, penjelasan didalan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang dan wilayah Kota Balikpapan Tahun 2012-2032 Pasal 4 yang menyebutkan, “Tujuan penataan ruang wilayah Kota adalah menjadikan Balikpapan sebagai kota jasa yang dinamis, selaras dan hijau guna mendukung fungsinya sebagai Pusat Pertumbuhan Nasional.
        Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Balikpapan yang diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2012 menjadi arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah menjadi pedoman bagi penataan ruang wilayah Kota yang merupakan dasar dalam penyusunan program pembangunan kawasan strategis kota dan wilayah sehingga penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup Kota Balikpapan program pembangunan terutama untuk berbagai aspek seperti, aspek ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan selain itu, pemanfaatan ruang menjadi upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Berdasarkan hal itu, ketaatan terhadap regulasi yang ada tentunya, menjadi harapan semua pihak untuk terus berupaya menjaga fungsi ruang dan sumberdaya alam yang ada di Kota Balikpapan dapat terlaksana serta dapat diwujudkan secara berkesinambungan begitu juga demikian komitmen bebas tambang semoga dapat terlaksana tanpa adanya unsur politisasi kebijakan untuk kepentingan pribadi maupun kelompok.






Adil dan Sempurna buat Negeri Indonesia !
Adil dan Sempurna buat Bangsa Indonesia !
Adil dan Sempurna buat Marhaen Indonesia !

Penulis
Fajrian Noor
Wakabid 5 Advokasi Hukum DPC GMNI Balikpapan

NB: Grand Isu Aksi GMNI Balikpapan dalam memperingati Reforma Agraria



























[1] Lihat Pasal 1 ayat ( 1 s/d 5) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria.
[2] www.plinplan.com;. - tempo interaktif;. - investor daily;. - buku Hukum Pertambangan di Indonesia karangan H. Salim HS. Tanggal 4 April 2011.
[3] Koesnadi Hardjasoemantri, 2005, op,. cit, Hal 252-253.
[4] YLBI, 2007. Panduan bantuan hukum Indonesia, Jakarta: Sentarlisme production, hlm. 219.
[5] Diakses dari http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/26207515.pdf  tanggal 24 September 2014