Rabu, 22 Oktober 2014

Reforma Agraria Demi Keadilan Sosial dan Kesejahteraan Rakyat Kaltim


Hakikat dari Reforma Agraria pada dasarnya merupakan penataan kembali, struktur pemilikan, penguasaaan dan penggunan tanah/wilayah  demi kepentingan rakyat kecil seperti, petani kecil, penyakap dan buruh tani tak bertanah sehingga , prinsipnya jelas bahwa tanah untuk penggarap dan makna “agraria” bukan sebatas “tanah” (kulit bumi) juga bukan sebatas “pertanian” melainkan “wilayah” yang mewadahi semuanya.
Sedangkan, secara konstitusional UUD NKRI 1945 dalam Pasal 33 ayat 3 telah memberikan landasan bahwa, bumi dan air serta kekayaaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan  untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehingga, dapat diketahui bahwa kemakmuran masyarakat lah yang menjadi tujuan utama dalam pemanfaatan fungsi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Kemudian,  dipertegas kembali didalam Pasal 1 ayat 1 s/d 5) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria yang merumuskan bahwa, “Bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan yang terkandung di dalamnya ………!’ Inilah “agrarian”! Selain permukaan bumi, juga butuh bumi di bawahnya (ayat 4); juga yang berada di bawah air. Dalam pengertian air, termasuk laut (ayat 5). Yang dimaksud ruang angkasa ialah ruang di atas bumi dan ruagn di atas air (ayat 6). Demikian pula Pasal 4 ayat 2.[1]
            Penegasan didalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria ini. Menjadi landasan hukum bagi pembentukan Undang-undang sektoral lainya yang memiliki keterkaitan dengan proses Reforma Agraria seperti, sektor pertanian, sektor pertambangan, Serta sektor kehutanan.  Namun, keberadaan regulasi ini belum cukup, untuk membenahi persoalan pelik yang kerap menjadi konflik di masyarakat alih-alih kebijakan pro rakyat justru faktanya, pemerintah ditingkatan daerah  justru berbalik menggerogoti sumber daya alam untuk kepentingan pribadi melalui berbagai kebijakan dalam tata kelola sektor agraria.
            Padahal, Land Reform  seyogjanya, bertujuan untuk mengubah struktur masyarakat dari susunan masyarakat warisan stelsel feiodalisme dan kolonialisme menjadi susunan masyarakat yang lebih adil dan merata sedangakan, tujuan lainya agar sedapat mungkin rakyat mempunyai asset produksi sehingga lebih produktif dan pengangguran dapat diperkecil. Kebijakan Neo-Liberalisasi dan ekonomi internasional melalui kebijakan yang saat ini dan pernah dijalankan seperti kebijakan GATT/WTO/AFTA/APEC/AOA. Belum sepenuhnya berjalan dengan maksimal, kegagalan pemerintah secara tegas harus diterpakan pertanggung jawaban pasalnya, kebijakan tersebut nyatanya tidak pro dengan rakyat. Terbukti, masih banyaknya penganggugaran serta masyarakat yang masih hidup dibawah garis kemiskinan.
            Disisi lain, Gerakan Reforma Agraria mempunyai tantangan yang sangat berat  karena sejak orde baru, para petinggi nasional sadar atau tidak sadar sudah terlanjur terseret kedalam pemikiran neo-liberal, dengan masuk kedalam komitmen-komitmen politik dan ekonomi internasional seperti GATT/WTO/AFTA/APEC/AOA bahkan, komitmen tersebut hingga saat ini, berlanjut dengan adanya kebijakan  MP3EI (Masterplane percepatan Pembangunan Indonesia) yang akan dicanangkan pada tahun 2015.
Pertanyaanya, mampukah rakyat bersaing menghadapi kebijakan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dengan prinsip  neo riberalisme ditengah persoalan kemiskinan yang membelit dan  apakah kebijakan itu merupakan tantangan atau sebuah ancaman bagi rakyat? Lantas, bagaimana kebijakan neo liberalisme ini ditingkatan daerah apalagi Kaltim menjadi titik wilayah yang akan menjadi bagian dari kebijakan pasar bebas melalui program MP3EI (Masterplane percepatan Pembangunan Indonesia) apakah sudah sesuai mengedepankan prinsip Reforma Agraria ?
Kebijakan percepatan pembangunan daerah tidak terlepas dari penggunaan  sumber daya  alam  agraria. Beragam konsesi diberlakukan pemerintah pusat maupun ditingkatan daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dari berbagai sektor yang masuk dalam kategori agraria seperti, sektor pertambangan, kehutanan dan pertanian. Alih-alih kebijakan, pemerintah untuk kesejahteraan rakyat namun, dalam pelaksanaannya kerap berbenturan dan menabrak aturan yang ada.
Semisal, ditingkatan pemerintah daerah pemanfaatan lahan kerap menjadi persoalan lantaran berorientasi kepentingan tertentu baik oleh pemangku kebijakan, pemodal asing dan masyarakat meskipun secara gamblang belum terpublikasikan namun, program pemerintah yang mengacam keberlangsungan sektor agraria mulai terlihat. Seperti kebijakan pemerintah pusat melalui program MP3I (master plane percepatan pembangunan Ekonomi indonesia) meskipun, masyarakat masih menilai positif kebijakan ini, sementara jika ditelaah lebih dalam justru program ini akan menyengsarakan masyarakat Kaltim khususnya Kota Balikpapan.
Kota Balikpapan merupakan salah satu titik pelaksanaan kebijakan MP3EI di Kaltim yang akan dicanangkan pada tahun 2015 mendatang sehingga, Pemerintah Kota Balikpapan sudah pasang badan untuk menyambut program ini melalui pembangunan Kawasan Industri Kariangau  (KIK) yang berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Balikpapan menempatkan kawasan tersebut sebagai pusat  Jasa industri minyak dan gas di Balikpapan.
Lantas bagaimana kesiapan Kota Balikpapan untuk menghadapai  kebijakan MP3EI pada tahun 2015 ini apakah masih mengedepankan Reforma Agraria demi keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat Balikpapan?
Kebijakan Pemerintah Kota Balikpapan, tidak meletakkan masalah Reforma Agraria sebagai basis pembangunan tanah sejogyanya sebagai salah satu sumber agraria malahan dijadikan “komoditi strategis”, untuk memfasilitasi kepentingan pemodal. Berkaca dengan kebijakan, yang saat ini diberlakukan oleh pemerintah daerah kota Balikpapan dalam penaataan fungsi agraria berdalih sebagai bentuk kebijakan pemerintah daerah untuk percepatan pembangunaan demi kesejahteraan rakyat namun,  ijin eksploitasi dan eksplorasi atas lahan tanah pada pelaksanaannya justru menabrak aturan dan mengenyampingkan fungsi pelestarian lingkungan hidup sehingga, kebijakan yang kerap diambil justru berdampak pada kerusakan lingkungan yang merugikan masyarakat walaupun ijin yang diberlakukan sudah ditetapkan namun, pada implementasinya bertolak belakang dengan tujuan hukum yaitu kepastian, kemanfaatan dan keadilan.
Selain itu, polemik juga kerap terjadi terkait fungsi tanah untuk kepentingan masyarakat dikota Balikpapan, tumpang tindih sertifikat menjadi persoalan pelik yang masih menjadi polemik berkepanjangan pasalnya, dari presentasi yang terjadi 35 % kasus pertanahan yang terjadi tidak bisa diselesaikan oleh BPN Balikpapan. Hal ini sangat jelas bukan tujuan dalam reformasi dibidang agraria lantaran tidak bisa memberikan jaminan kepastian hukum terhadap  status kepemilikan sertifikat hak atas tanah yang tidak dapat dilakukan proses balik nama lantaran penuh dengan KKN dan kepentingan oknum-oknum dilembaga-lembaga tersebut untuk memperkaya diri. Padahal, sangat jelas prinsip tujuan hukum yang meliputi kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum merupakan cita-cita dalam supermasi hukum di Negara ini.

Menolak kebijakan MP3EI yang dilaksanakan di Kaltim  karena bertolak belakang dengan prinsip Reforma Agraria.
            Kebijakan, MP3EI  barangkali merupakan konsekuensi warisan masa orde baru pimpinan Presiden Soeharto masa itu dengan slogan “melaksanakan pancasila dengan murni dan konsekuensi” namun, justru menciptakan penyimpangan yang melahirkan sejumlah kontradiksi diantaranya, pemerintah kian sentralistik dan otoriter sehingga kebijakan dibidang ekonomi semakin ramah terhadap kapitalis internasional (IMF,ADB,Word Bank  dan sebagainya), selain itu, fungsi negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia justru mengalami distorsi karena pemberhangusan terhadap hak politik rakyat selaku pemilik kedaulatan kian kehilangan akses baik terhadap institusi negara maupun atas SDA yang menjadi sumber penghidupan lantaran kapitalis internasional kian merajalela mengeruk kekayaan alam.
            Ramahnya negeri ini terhadap kapitalisme kemudian memasuki babak baru melalui Rezim pemerintahan SBY  saat ini, tak ubahnya rezim neo orde baru yang mengekalkan kapitalisme menilik kebijakan liberalisme ekonomi sejak pemilu 2004-2009 sangat jelas berorientasi mendukung dan sangat bergantung dengan pasar bebas terlihat karena ketergantungan Indonesia pada  kapitalisme pusat dan tunduk pada mekanisme pasar bebas. Kebijakan MP3EI yang akan dicanangkan pada tahun 2015 bisa saja melatarbelakangi ketergantungan tersebut.
            Pasar bebas, melalui kebijakan MP3EI Ini dilakukan sebagai realisasi dari keinginan para pemimpin Negara ASEAN pada KTT ASEAN di kuala lumpur Desember 1997 yang memutuskan untuk mentransformasikan ASEAN menjadi kawasan yang stabil, makmur, dan berdaya saing tinggi dengan tingkat pembangunan ekonomi yang merata serta kesenjangan sosial ekonomi dan kemiskinan yang semakin berkurang.
Adapun Indikator dampak negatif yang dialami oleh masyarakat Kaltim dengan adanya pasar bebas kebijakan MP3EI diantaranya;

1.      Mematikan sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) masyarakat lantaran tidak mampu bersaing dengan investor asing.
2.      Sistem seleksi tenaga kerja tidak objektif karena kebijakan ini memberikan peluang kepada tenaga kerja yang berasal dari negara-negara ASEAN.
3.      PHK yang diterima oleh Tenaga kerja, jika tidak mampu bersaing lantaran SDM dari tenaga kerja asing lebih mumpuni.

Indikator ini barangkali, bisa menjadi rujukan bagi Pemerintah Kota Balikpapan untuk mengutamakan sumber daya manusia (SDM) pekerja pribumi agar mampu bersaing dalam masyarakat ekonomi ASEAN tersebut sedangkan ketergantungan pemerintah terhadap kebijakan MP3EI tentunya juga sangat bergantung pada kesiapan dalam sektor agraria. Mengingat, Kaltim memiliki sumberdaya alam yang melimbah di sektor pertambangan, sektor kehutanan dan sektor perkebunan barangkali Pemerintah Kota Balikpapan harus ambil sikap untuk menolak kebijakan pemerintah yang mengekalkan pasar bebas melalui program MP3EI. Meskipun, Pemerintah Kota Balikpapan saat ini sudah melakukan persiapan yang matang guna menghadapi kebijakan neo liberalisasi ekonomi tersebut. Melalui pengembangan Kawasan Industri Kariangau (KIK) tetap saja belum menjamin sektor agraria dimanfaatkan secara berimbang dan mengedepankan prinsip pelestarian lingkungan.
Pada dasarnya pembangunan nasional yang dilaksanakan selama ini merupakan upaya pembangunan yang berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Guna mencapai tujuan tersebut, pelaksanaan pembangunan harus senantiasa  memperhatikan keserasian, keselarasan, dan kesinambungan berbagai unsur pembangunan, termasuk dibidang pertambangan. Dengan demikian guna mempercepat terlaksananya pembangunan ekonomi Nasional dalam menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka perlulah dikerahkan semua dana dan daya untuk mengolah dan membina segenap kekuatan ekonomi potensiil dibidang pertambangan menjadi kekuatan ekonomi riil.
            Lalu, sumber daya alam termasuk batubara ditegaskan dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 33 ayat (3) yang kemudian diwujudkan dalam Pasal 1 poin (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Pertambangan Mineral dan Batubara yang berbunyi “Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang”.[2]
Kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan kegiatan usaha pertambangan diluar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan. Dengan mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional pertambangan mineral dan batubara perlu dikelola dengan sebaik mungkin untuk mencapai tujuan kesejehteraan dan hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu  pengelolaan mineral dan batubara harus secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan.

Sektor pertambangan sejogyanya merupakan upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi kedalam strategi pertambangan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi kini dan generasi masa depan memerlukan adanya prinsip kehati-hatian yang harus dipegang teguh dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan ketentuan mengenai usaha pertambangan nasional perlu disempurnakan terutama yang berkaitan dengan lingkungan hidup, termasuk di dalamnya peningkatan peranan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan berskala besar dan atau berisiko tinggi.

Lingkungan hidup yang sehat merupakan hak asasi setiap warga Negara Indonesia sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga pertambangan yang dilaksanakan harus berwawasan lingkungan hal ini seiring dengan semakin menurunnya kwalitas lingkungan yang semakin mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya sehingga diperlukannya suatu upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten demi menjamin perikehupan manusia dan mahluk hidup lainnya.
Penjelasan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dapat dipahami bahwa ;”pada dasarnya semua usaha atau kegiatan pembangunan menimbulkan dampak terhadap lingkungan” sehingga perencanaan awal suatu usaha atau kegiatan pembangunan sudah harus memuat perkiraan dampak yang penting terhadap lingkungan untuk diketahui secara lebih rinci dampak negatif dan positif yang akan di timbulkan dari usaha atau kegiatan tersebut sejak dini sehingga upaya pengendaliannya dapat dipersiapkan sejak dini dan mengembangkan dampak positifnya. Oleh karena itulah sangat diperlukannya analisis terhadap Perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh adanya suatu usaha atau kegiatan guna untuk mengendalikan dampak yang diakibatkan oleh usaha pertambangan.
Dampak yang penting ditentukan dalam analisis dampak lingkungan dan pengelolaan lingkungan hidup diantaranya : [3]
1.      Besar jumlah manusia yang akan terkena dampak.
2.      Luas wilayah penyebaran dampak.
3.      Lamanya dampak berlangsung
4.      Intensitas dampak
5.      Banyaknya komponen lingkungan lainnya yang akan terkena dampak.
6.      Sifat kumulatif dampak tersebut
7.      Berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irrevesible) dampak.
Tujuan yang diharapkan dengan perlunya analisis dampak lingkungan dalam pengelolaan sumber daya alam khusunya pertambangan agar pemerintah dapat membantu golongan ekonomi lemah yang bidang usahanya diperkirakan akan menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan serta pemerintah diharapkan dapat membantu menganalisis dampak lingkungan.
Pada tataran realitas analisis dampak lingkungan yang merupakan instrumen pengaman lingkungan untuk masa depan belum berjalan dengan maksimal sebagaimana yang diamantkan oleh Undang-Undang. Banyaknya pelanggaran dalam pengelolaan sumber daya alam batubara yang dengan mudah diberikan izin eksplorasi dan eksploitasi oleh pemerintah sekalipun sudah dijabarkan dalam Pasal 23 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengatur tentang kriteria jenis usaha/ atau kegiatan yang berdampak penting  yang wajib dilengkapi dengan amdal yaitu : “eksploitasi sumber daya alam baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan”. kurangnya pengetahuan dan pemahaman pemerintah dalam pengelolaan lingkungan serta tajamnya unsur politik yang mengakibatkan terabaikannya fungsi lingkungan.

Prinsip-prinsip dasar kebijakan pembangunan hukum lingkungan tersebut dalam prakteknya masih amat memprihatinkan. Sampai sekarang masih banyak kasus hukum lingkungan yang menampakkan kecenderungan pengabaian nilai-nilai, hak, kewajiban, peran masyarakat serta wewenang dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dalam pengelolaan lingkungan hidup setiap orang belum mempunyai hak yang sama untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagai akibat dari kerusakan ekosistem seperti lingkungan dan kerusakan sumber daya alam.[4]

Otonomi daerah membuat daerah mengeluarkan berbagai kebijakan yang tidak kondusif bagi pelestarian lingkungan, karena mengejar nilai PAD (Pendapatan Asli Daerah). Penambangan Secara besar-besaran terus dilakukan tanpa memperhatikan aspek kelestraian lingkungan. Berkaca dengan polemik agraria di sektor pertambangan yang saat ini terjadi dibeberapa kota/kabupaten di Kaltim seperti, Pemberian izin dalam usaha pertambangan khusunya di wilayah kabupaten Tanah Paser dan Kabupaten Penajam Paser Utara serta Kota Samarinda  sangat memprihatinkan bahkan sebagian besar pertambangan batubara yang ada di wilayah tersebut tidak memperhatikan aspek-aspek dalam pengelolaan lingkungan hidup yang baik.

Berdasarkan hal tersebut di atas menunjukkan lemahnya komitmen penegakan hukum lingkungan khusunya terhadap pertambangan batubara yang dapat berakibat semakin menurunnya kwalitas lingkungan yang semakin mengancam kelangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya. Langkah dalam penegakan hukum lingkungan seyogyanya merupakan langkah yang harus serius dilakukan oleh pemerintah dalam menjaga kelestarian fungsi lingkungan antar generasi, kurangnya pengetahuan dan pemahaman aparat penegak hukum serta tajamnya unsur politik dalam pemberian izin pertambangan batubara yang merupakan kendala dalam penegakan hukum lingkungan.

Mencermati langkah antisipatif dengan pola pengembangan dalam usaha pertambangan sebagaimana yang disebutkan di atas sudah seyogyanya dilakukan oleh pemerintah dengan prinsip good mining practice pada semua tahapan dalam pengelolaan sumber daya pertambangan batubara dengan tujuan agar tercapainya pemanfaatan sumber daya alam secara berkeseimbangan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi lingkungan. Oleh karena itu tahapan-tahapan yang perlu dilakukan dalam setiap mengambil keputusan dalam tahapan pertambangan harus didasarkan pada tiga kriteria yang berbasis pada permasalahan lingkungan environment problem dan sosial ekonomi masyarakat disekitar pertambangan seperti:
1.      Perlindungan hukum dan kepentingan masing-masing pihak.
2.      Potensi ancaman terhadap hak-hak masyarakat (comunity rights) yang bersumber dari rusaknya lingkungan hidup dan dampak lanjutannya.
3.      Potensi ancaman terhadap masa depan kesejahteraan hidup manusia.[5]

Usaha pertambangan yang baik dan benar diharapkan mampu membangun peradaban yang mampu memenuhi ketentuan-ketentuan, kriteria, kaidah, dan norma-norma yang tepat sehingga pemanfaatan sumber daya pertambangan batubara dapat memberikan manfaat yang seoptimal mungkin dan dampak buruk yang seminimal mungkin.

Lantas, bagaimana komitmen Pemerintah Kota Balikpapan jika Berkaca dengan polemik Agraria yang terjadi di beberapa Kota/ Kabupaten di Kaltim tersebut?
            Berkaca, dengan polemik agraria didaerah lain dikaltim seperti di Kabupaten Paser, Kota Samarinda dan Kutai Kertanegara yang memberikan ijin kepada pihak pemodal untuk mengelola sumberdaya alam di berbagai sektor seperti sektor pertambangan, kehutanan dan perkebunan tentunya, membuat pemerintah Kota Balikpapan harus berkomitmen agar tidak sejalan dengan kebijakan pemimpin daerah lainya di Kaltim yang memberikan keleluasaan melalui pemberian ijin eksploitasi dan eksplorasi kepada pihak investor atau pemodal untuk menggaruk sumber daya alam yang ada di Provinsi terbesar di  Indonesia ini.
            Keresahan publik sangat beralasan untuk mempertanyakan komitmen pemerintah daerah dalam menjaga kota Balikpapan bebas pertambangan. Terlebih, pasca masa transisi tampuk kepemimpinan dikursi DPRD Balikpapan belum dapat menjamin komitmen bebas tambang akan terus berjalan lantaran, pada tahun 2015 Kaltim  akan menghadapi tantangan liberalisasi ekonomi melalui kebijakan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sehingga tidak menutup kemungkinan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam agraria akan dibuka lebih masiif lagi di Kalrim. Sementara, bagi pemangku kebijakan di daerah, program ini menjadi salah satu upaya pemerintah daerah untuk dapat  mensejahterakan masyarakatnya. Namun, disisi lain mengorbankan berbagai  aspek seperti  keberlangsungan hayati sumber daya alam Kaltim.
Pertanyaan nya, mampukah sumber daya alam Kaltim menyokong kebijakan itu, mengingat saat ini saja pemberlakuan kebijakan oleh Pemerintah daerah untuk pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam di Kaltim kepada pihak investor sudah sedemikian leluasa. Tak ayal, ketegasan pemangku kebijakan juga patut dipertanyakan dalam pemberian ijin kelola sumberdaya alam yang ada di Kaltim. Mengingat saat ini saja, sudah banyak terjadi kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh sektor pertambangan seperti tidak berjalanya sistem jaminan reklamasi tambang. Sehingga, jangan heran jika dilihat dari citra satelit hutan-hutan diKaltim banyak yang berlubang dan ditinggalkan begitu saja tanpa ada upaya untuk merehabilitasi kembali lahan itu melalui reklamasi  pasca tambang.
Tidak berjalanyan jaminan reklamasi tambang dan lubang  pasca tambang dibiarkan dan ditinggal begitu saja, memang bukan perkara baru terjadi di Kaltim sehingga, menjadi cerita lama yang tidak berkesudahan. Beragam LSM berbasis lingkungan dibentuk sebagai upaya kontrol  untuk mengingatkan pemerintah daerah agar tidak seenaknya memberikan ijin kepada pihak perusahaan untuk membuka konsesi diwilayah hutan Kaltim namun, apa daya kebijakan pemerintah daerah saat ini saja sulit dibendung apalagi menghadapi kebijakan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) tidak menutup kemungkinan ijin-ijin kuasa pertambangan baru bakal disahkan oleh pemerintah daerah.
            Menghadapi itu, tentunya di kota Balikpapan juga demikian harus ada upaya preventif untuk menekan kebijakan dalam memmberikan Ijin usaha eksplorasi dan eksploitasi lahan untuk konsesi pertambangan. meskipun, saat ini pemerintah Kota Balikpapan masih memegang teguh komitmen Balikpapan bebas tambang. Lantas, apakah komitmen yang sudah berjalan ini menjamin dimasa yang akan datang masih terbebas dari pertambangan? Terlebih, tampuk kepemimpinan kepala daerah pada tahun 2015 ini akan berganti dan ditahun itu pula kebijakan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) juga sudah berjalan ?
Jika mengamati Rencana Tata ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Balikpapan sudah jelas tidak menempatkan pembagian wilayah untuk konsesi pertambangan meskipun demikian lantas tidak menutup kemungkinan pembukaan lahan untuk kuasa pertambangan juga akan dilakukan. Mengingat, pergantian tampuk kepemimpinan di legilslatif lalu, pergantian kepala daerah di 2015 mendatang tentunya kebijakan yang dikeluarkan akan berbeda. Regulasi yang ada saat ini seperti perda RTRW Nomor 12 Tahun 2012  belum dapat sepenuhnya memberikan jaminan kepastian hukum bagi masyarakat pasalnya, demi kepentingan politis aparatur pemerintahan daerah tidak segan-segan melakukan pembangkangan dengan melakukan pembiaran atas pelanggaran terhadap tata ruang yang ada. Terlalu banyak contoh di Kota Balikpapan lantaran, tata ruang dikembangkan untuk daerah resapan, daerah hijau dikembangkan menjadi daerah-daerah komersil dengan eksplorasi lahan untuk industri dan bangunan diatasnya.
            Hal ini kemudian bertolak belakang dengan UU No 32  Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang menyatakan bahwa pemerintah berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup masyarakat dapat tetap menjadi sumber lain dan penunjang hidup bagi rakyat serta makhluk hidup lainya. Sedangkan keterkaitanya dengan fungsi ruang wilayah Sebagaimana, penjelasan didalan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang dan wilayah Kota Balikpapan Tahun 2012-2032 Pasal 4 yang menyebutkan, “Tujuan penataan ruang wilayah Kota adalah menjadikan Balikpapan sebagai kota jasa yang dinamis, selaras dan hijau guna mendukung fungsinya sebagai Pusat Pertumbuhan Nasional.
        Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Balikpapan yang diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2012 menjadi arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah menjadi pedoman bagi penataan ruang wilayah Kota yang merupakan dasar dalam penyusunan program pembangunan kawasan strategis kota dan wilayah sehingga penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup Kota Balikpapan program pembangunan terutama untuk berbagai aspek seperti, aspek ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan selain itu, pemanfaatan ruang menjadi upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Berdasarkan hal itu, ketaatan terhadap regulasi yang ada tentunya, menjadi harapan semua pihak untuk terus berupaya menjaga fungsi ruang dan sumberdaya alam yang ada di Kota Balikpapan dapat terlaksana serta dapat diwujudkan secara berkesinambungan begitu juga demikian komitmen bebas tambang semoga dapat terlaksana tanpa adanya unsur politisasi kebijakan untuk kepentingan pribadi maupun kelompok.






Adil dan Sempurna buat Negeri Indonesia !
Adil dan Sempurna buat Bangsa Indonesia !
Adil dan Sempurna buat Marhaen Indonesia !

Penulis
Fajrian Noor
Wakabid 5 Advokasi Hukum DPC GMNI Balikpapan

NB: Grand Isu Aksi GMNI Balikpapan dalam memperingati Reforma Agraria



























[1] Lihat Pasal 1 ayat ( 1 s/d 5) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria.
[2] www.plinplan.com;. - tempo interaktif;. - investor daily;. - buku Hukum Pertambangan di Indonesia karangan H. Salim HS. Tanggal 4 April 2011.
[3] Koesnadi Hardjasoemantri, 2005, op,. cit, Hal 252-253.
[4] YLBI, 2007. Panduan bantuan hukum Indonesia, Jakarta: Sentarlisme production, hlm. 219.
[5] Diakses dari http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/26207515.pdf  tanggal 24 September 2014

Minggu, 19 Oktober 2014

Pepara, Refresentasi wilayah pedesaan yang belum terjamak tikus-tikus berdasi

        

          Hamparan petak sawah hijau menguning disisi kanan dan kiri jalan menuju Desa Pepara  yang dikelola oleh penduduk setempat menjadi panorama indah dan menjadi daya tarik perkampungan itu. Akses tidak begitu  jauh, cukup menyebrangi jembatan Kandilo sekira 15 KM dari ibukota Kabupaten Paser yang sekarang resmi berganti nama menjadi Tanah Paser, bagi siapapun pelancong bertandang ke perkampungan itu, meskipun jalan rusak dan berbatu siap menghadang jika berkendara menggunakan kendaraan namun, kendala-kendala kecil seperti itu barangkali tidak akan menyurutkan niat bagi pelancong yang gemar berpetualang. 

            Untuk pelancong yang berjiwa petualang, Desa Pepara sama seperti Desa lainya yang terdapat di Kabupaten Paser maupun didaerah lainya diluar kalimantan, kehidupan penduduknya juga sangat bersahaja meskipun hidup dengan serba keterbatasan namun, tidak menyurutkan semangat penduduk setempat untuk berusaha  mengais rejeki melalui pengembangan di sektor pertanian rakyat yang dikelola langsung dengan cara yang sederhana tanpa peralatan modern. 

            Dukungan alat yang seadanya mampu membuktikan bahwa  tanpa campur tangan pemerintah maupun pemodal penduduk setempat mampu berdikari untuk pemenuhan hidupnya dan keluarga-keluarga mereka meskipun demikian, bukan jaminan bagi penduduk setempat untuk dapat meneruskan usaha berdikari yang saat ini dikelola penduduk setempat. Pasalnya, program percepatan pembangunan wilayah tertinggal termasuk pedesaan mulai digalakan pemerintah Kabupaten Paser. Program ini, tentu juga memberikan dan membuka peluang kepada investor untuk mengelola sumber daya alam di kawasan pedesaan yang masih dalam tahapan pembangunan. 

            Berkaca dengan, kebijakan yang sudah berjalan saat ini yaitu pemberian ijin kepada investor dalam mengelola sumber daya alam di sektor Pertambangan, Perkebunan dan Kehutanan yang karut marut. Bukan tidak mungkin, Desa Pepara menjadi target selanjutnya pemerintah daerah  untuk mengeruk sumber daya alam di Desa itu dengan dalih percepatan pembangunan untuk mensejahterakan rakyat justru merusak sumberdaya alam diwilayah  tersebut. Jika, sistem pengelolaannya sesuai dan Pemerintah Kabupaten Paser berkomitmen untuk mengelola secara arif tanpa merusak ekosistem sumberdaya alam barang tentu penduduk setempat mendukung penuh program kebijakan itu.

            Namun, melihat kondisi yang ada dan keraguan sangat wajar terbayang difikiran penduduk jika menyoal kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang dilakukan pemerintah Kabupaten Paser terhadap desa-desa yang terdapat di Kabupaten Paser yang secara topografi masuk berdasarkan konsesi sumberdaya alam agraria yang didalamnya terdapat eksplorasi dan eksploitasi sektor pertambangan, kehutanan, dan perkebunan yang saat ini kebijakan yang dikeluarkan terkesan karut-marut dan menabrak aturan sana sini tanpa melihat dampak dari kerusakan lingkungan yang dibuatnya. Selain, masalah kebijakan yang sudah terlanjur ditetapkan, minimnya kesadaran masyarakat untuk mengingatkan pemerintah kabupaten Paser agar tidak leluasa dalam memberikan ijin tentunya menjadi harapan semua pihak. Pasalnya, memang saat ini tingkat kesadaran masyarakat juga patut dipertanyakan lantaran juga memiliki kepentingan tertentu untuk meraup keuntungan jika ada pemodal ataupun investor yang menggunakan kawasan pedesaan setempat untuk membuka usaha produksi batu bara, kelapa sawit dan kayu.

              Seperti, keterlibatan aparat desa dan tokoh-tokoh masyarakat dalam proses pembebasan lahan untuk usaha produksi dan eksplorasi serta eksploitasi lahan untuk kepentingan perusahaan juga tidak lepas dari pengaruh mereka. Bahkan, untuk melegitimasi keberadaan perusahaan dan usaha produksinya tidak jarang pihak perusahaan memperkerjakan pemuda setempat didalamnya agar mempermudah akses kerjasama dengan masyarakat lainya dan meminimalisir konflik-konflik yang terjadi jika permasalahan lahan juga berkaitan dengan masyarakat. 

Desa Pepara, bisa saja menjadi refresentasi mewakili Desa-desa lainya yang terdapat di Kabupaten Paser yang masih alami dan belum terjamak oleh tangan-tangan jahat tikus-tikus berdasi yang meraup keuntungan dengan pemberian kebijakan tidak pro rakyat. Opini ini, sangat beralasan mengingat hampir seluruh Desa yang ada dikabupaten ini memiliki bentang alam dan topografi yang tidak jauh berbeda satu sama lainya, begitu juga dengan masyarakatnya  yang beragam. Penantian masyarakat diwilayah pedesaan yang terdapat di Kabupaten Paser termasuk salah satunya, Desa Pepara untuk mendapatkan perhatian pemerintah Kabupaten Paser memang tidak instan dan butuh proses panjang. Beragam sikap pro dan kontra diungkapkan agar pemerintah kabupaten paser bergeming untuk perduli kepada nasib masyarakat miskin  didaerah Benuo Taka itu.

            Dibalik pro dan kontra itu tentunya ada berkah tersendiri bagi penduduk yang bermukim di pedesaan yang berada di Kabupaten Paser. Pasalnya, meskipun sumberdaya alam dikerok habis oleh pemerintah Kabupaten Paser melalui kebijakan yang diberikan. Program percepatan pembangunan daerah tertinggal saat ini sudah berjalan dan dilaksanakan secara bertahap untuk kesejahteraan warga miskin di kawasan pedesaan. Program ini diantaranya, pemberian lahan dan rumah gratis kepada warga miskin serta bantuan pendidikan gratis 12 tahun bagi masyrakat diwilayah itu. Adapun upaya lainya yang saat ini sudah direalisasikan yaitu, Pembangunan Jembatan Kandilo, yang menghubungkan 2 wilayah tersebut yaitu, Desa Pepara dan Desa Sungai Tuak dengan ibukota Kabupaten Tanah Gerogot.

            Jika, program percepatan pembangunan ini terus dilanjutkan selaras dengan kebijakan dan pelaksanaanya tanpa mengenyampingkan sektor lainya seperti  kerusakan sumberdaya alam yang ada di kabupaten itu, serta pemangku kebijakan nya dapat pula bersikap arif dan bijak untuk tidak menuai pundi-pundi rupiah guna memenuhi kepentingan pribadinya. Tentu Kabupaten yang  terbentuk menjadi Daerah Tingkat II berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959 ini barangkali dimasa yang akan datang akan menjadi sebuah Kabupaten yang berkembang dan dapat memakmurkan kesejahteraan hidup masyarakatnya melalui pengelolaan sumberdaya alam secara koperatif arif dan bijaksana.

Ole Banuo Taka
Penulis
Fajrian Noor
Desa Pepara, Kab. Paser
14/09/2014
















































Selasa, 14 Oktober 2014

3 Sektor "sarang tikus berdasi"


Sample data:  7 Perusahaan Pertambangan, perkebunan dan Kehutanan yang bermasalah di Kabupaten Paser
No
Perusahaan
Lokasi
Jenis Usaha
Keterangan
1
PT.Pelita Makmur Niaga
Desa Belimbing , Tiwei,Pinang Jatus Muara Pias dan Munggu , kecamatan Longikis
Perkebunan
Tumpang tindih izin didalam lokasi perkebunan terdapat konsesi pertambangan
2
PT. Borneo Indo Subur
Desa Tiway, Belimbing Kec. Long Ikis , Paser Kaltim
Perkebunan
Ditutup  dan ijin dicabut oleh pemerintah Kabupaten Paser karena perusahaan tidak beroperasi lagi.
3
PT Putra 01
Desa Tajur dan Desa Kerayan Makmur Kecamatan Long Ikis Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur.
Pertambangan
Tidak melaksanakan Jaminan Reklamasi
Lubang bekas tambang ditengah lahan perkebunan sawit dibiarkan dan tidak ditutup.

Perusahaan tidak pernah melakukan pemulihan kualitas air dan tanah. Padahal, kegiatan produksi tambang mengakibatkan lahan perkebunan sawit warga tercemar.
4
PT. Satria Mahkota Gotech
Desa Tajur dan Desa Kerayan Makmur Kecamatan Long Ikis Kabupaten Paser Provinsi Kalimantan Timur.
Pertambangan
Masuk Kawasan Cagar Alam dan Tidak melaksanakan Jaminan Reklamasi lalu
Lubang bekas tambang ditengah lahan perkebunan sawit dibiarkan dan tidak ditutup.
5
PT. Paser Buen Energy
Desa Tarjudan Samuntai kec.Longikis
Pertambangan
Menurut Kepala Desa Tarju mengakui pihak perusahaan belum membayar Jamrek dan
Perusahaan tidak pernah melakukan pemulihan kualitas air dan tanah.
6
PT. Delapan Paser Sejahtera
Desa Jemparing/Sebakung Kec. Long Ikis
Pertambangan
Bupati memberikan izin yang menalahi aturan karena pemilik perusahaan PT Delapan Sejahtera merupakan anak Bupati Paser yang bernama Ihkwan Wirawan
7
PT. Greaty  Sukses  Abadi  Unit  I
Kecamatan Longkali, Kabupaten Paser
Kehutanan
Penebangan diiluar RKT yang disepakati. Lalu, ditemukan oleh masyarakat bahwa penebangan yang dilakukan  masuk dikawasan lindung

Penebangan melebihi jatah tebang tahunan seharusnya menjadi tugas Dinas Kehutanan untuk melakukan kontrol

Aparat desa terindikasi menerima  nominal uang yang  diberikan sebesar ½ miliar ke aparat desa Pinang Jatus karena penebangan yang dilakukan berada  diluar konsesi   

Sumber: Ferivikasi Lapangan Local Monitoring ICW

Dari data Dinas Pertambangan Kabupaten Paser  tercatat  79 Jumlah perusahaan pertambangan yang terdapat di Kabupaten Paser  38 diantaranya, memegang ijin operasi produksi sedangkan 41 perusahaan tambang memegang ijin eksplorasi. Meskipun, bukan menjadi  komoditi utama untuk meningkatkan PAD lantaran  sektor pertambangan di Kabupaten dikelola langsung dan melalui bagi hasil dengan pemerintah pusat. Lantas, bukan jaminan kerusakan lingkungan yang disebabkan eksplorasi dan produksi tambang tidak merusak sumber daya alam. Terlebih, tidak berjalanya kebijakan jaminan reklamasi pasca tambang tentunya perinsip lestari dalam pengeloaan sumber daya alam tidak dikedepankan.

 Lantas, dari jumlah itu apa sudah menjalankan jaminan reklamasi? Bagaimana sikap pemerintah Kabupaten Paser jika ada perusahaan pertambangan yang tidak menjalankan jaminan reklamasi lalu bagaimana prosedur pemberian Izin nya? Apakah sudah benar dan tidak menabrak aturan ?

Dinas Pertambangan Kabupaten Paser mengakui bahwa, 40%  perusahaan tambang di Kabupaten Penajam Paser belum sepenuhnya, menjalankan jaminan reklamasi pasca tambang. Hal ini, disampaikan oleh Joko Kasi Perijinan Dinas Pertambangan Kabupaten Paser. Diakuinya, lemahnya sistem pengawasan menjadi tolok ukurnya banyak nya perusahaan yang melanggar ijin. (7/9/14)

“Reklamasi bukan diukur dari proses mekanisme menjalankannya melainkan persentasi secara umum dari luasan lahan yang di reklamasi,”ujarnya” sementara dari 40 % perusahaan tambang yang melanggar meskipun sudah ada upaya namun, tetap saja belum sepenuhnya menjalankan jaminan reklamasi itu,”sambungnya.
Selain itu, belum ada legalitas dalam mengeksekusi jaminan reklamasi menjadi alasan lainnya sehingga banyak perusahaan yang lalai dan mengindahkan reklamasi itu dilaksanakan. Padahal, sebelum izin eksplorasi diterbitkan  harus memenuhi syarat dan jaminan reklamasi harus dilakukan dalam jangka  waktu tertentu dan telah ditetapkan didalam dokumen izin eksplorasi.
“Mekanisme dalam mengeksekusi jamrek masih menjadi soal, pasalnya apakah harus menunjuk pihak ketiga dulu atau di eksekusi langsung oleh pemkab, sementara jika merujuk pada sistem pengadaan barang diatas 200 juta menggunakan sistem lelang,” paparnya.

Ketidakjelasan dalam mekanisme eksekusi jaminan reklamasi menjadi sebab banyaknya perusahaan yang mangkir melaksanakan jaminan reklamasi, begitu juga  peraturan daerah  Kabupaten Paser Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pertambangan umum tidak secara tegas dan gamblang mengatur tentang jaminan reklamasi lantaran hingga saat ini belum ada revisi dan masih mengacu pada peraturan perundang-undangan yang lama. Tak ayal jaminan reklamasi urung dilakukan dan berdampak pada kerusakan lingkungan di area konsesi pertambangan.
“Jika, merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang baru. Tentunya, perda ini tidak relevan lagi. Meskpun, ada PP No 2 Tahun 2010 Tentang Reklamasi sebagai acuan sementara. Namun, juga tidak secara tegas dapat mengeksekusi sistem lelang jaminan reklamasi,” ungkapnya.

            Pemerintah Kabupaten Paser terus berupaya meningkatkan sistem pengawasan melalui inspektorat pengawas pertambangan namun demikian belum menjadi patokan untuk meminimalisir jumlah pelanggaran yang dilakukan oleh pihak perusahaan pertambangan yang terdapat di banuo  etam ini baik perusahaan pertambangan yang masuk di konsesi KBK yang dikelola kementerian kehutanan melalui ijin pinjam pakai maupun konsesi KBNK.
“Paradigmanya harus dirubah perusahaan tambang jangan selalu menunggu untuk ditegur dan diawasi kalau seperti itu selamanya gak akan tertib, begitu juga jaminan reklamasi selamanya  gak akan jalan,”tuturnya.

 
   
 

 
Tagih Komitmen Pemkab Paser cegah kerusakan lingkungan

Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Paser mengakui, bahwa perusahaan tambang, perkebunan dan kehutanan di Kabupaten Paser banyak yang merusak lingkungan. Namun, diakui BLH kebijakan Birokrasi penguasa yang terkesan memberikan pengecualian terhadap beberapa perusahaan di sektor pertambangan dan perkebunan serta kehutanan untuk beroperasi. Meskipun, dari aspek pengelolaan lingkungan hidup diwilayah konsesi belum dapat dikatakan layak lantaran belum melalui proses kajian Amdal namun, sudah terkesan dipaksakan untuk melakukan operasi produksi dan eksplorasi serta eksploitasi lahan. Sehingga, lahan di area konsesi tersebut mengalami kerusakan tidak hanya persoalan limbah hasil produksi bahkan lahan pasca tambang juga tidak dilakukan reklamasi dan ditinggal begitu saja. Hal ini, disampaikan Rafii bidang AMDAL BLH Paser. (8/9/14)
            “realitanya memang banyak perusahaan yang melanggar izin lingkungan di Paser, namun, kita tidak bisa berbuat apa-apa jika birokrasi penguasa yang memberikan kebijakan dan ijin produksi dan eksplorasi Sumber daya alam di Kabupaten Paser,” sesalnya.

            Padahal, Peraturan Bupati Paser Nomor 21 Tahun 2009 Tentang Rincian Tugas dan Fungsi badan Lingkungan Hidup Kabupaten Paser sudah secara gamblang mengatur kewenangan lembaga ini dalam proses pengendalian Pencemaran Lingkungan serta pelaksanaan pengawasan pengelolaan lingkungan hidup.
            “Perbub sudah disahkan, menjadi upaya dan ithikat baik pemkab namun, komitmen pelaksanaanya masih belum sepenuhnya berjalan dengan maksimal,”ungkapnya,”sementara kami tidak dapat berbuat banyaka kalau pemkab sudah memberi ijin,’sambungnya.

            Diakuinya, meskipun ditingkatan birokrasi belum menjalankan komitmen dengan maksimal. Saat ini pihaknya sudah berupaya untuk menjalankan proses peninjauan kembali ijin Amdal baik yang sudah diberikan maupun ijin baru secara berkala terhadap perusahaan-perusahaan di Kabupaten Paser yang menggunakan kawasan rentan dengan potensi kerusakan lingkungan. Selain itu, BLH saat ini sesuai dengtan fungsinya juga berupaya untuk menjalankan dan melaksanakan pengaturan, pngelolaan dan pemantauan kualitas, dan pengendalian pencemaran air pada sumber air yang kerap dikeluhkan masyarakat di erea kawasan perkebunan.
            “berharap, kerjasama dengan semua pihak bukan hanya untuk pemangku kebijakan saja. Juga harusa ada partisipasi dari pihak perusahaan dan masyarakat untuk bersama-sama menjaga dan melindungi sumber daya alam di sektor pertambangan, perkebunan dan kehutanan dengan baik, sehingga kerusakan lingkungan hidup dapat dicegah dan diminimalisir,” pungkasnya.


 


Aparat Kecamatan protes, perusahaan lakukan eksplorasi di area Cagar Alam

            Berdasarkan, standar operasional Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi Mineral Logam dan Batubara yang berada dikawasan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) seharusnya memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku seperti partisipasi keterlibatan camat dan kepala desa melalui surat rekomendasi serta surat pernyataan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup faktanya dikesampingkan.
            hal ini disampaikan oleh Sekretaris Kecamatan Long ikis yang tidak mau disebutkan namanya diakuinya, perusahaan PT. Satria Mahkota Gotech sejak beroperasi pada tahun 2007 melalui kontrak kerjasama dengan Pemkab Paser pada tanggal 26 Agustus 2004. Tidak pernah sekalipun punya ithikat baik untuk mendatangi pihak kecamatan Long Ikis untuk sekedar memberitahukan atau meminta rekomendasi padahal konsesi pertambangan PT. Satria Mahkota Gotech masuk kedalam wilayah administrasi Kecamatan Long Ikis.
            “kalau menurut SOP harus ada rekomendasi camat namun, Ithikat baik untuk meminta izin rekomendasi sampai saat ini urung dilakukan, kami pun tidak dapat berbuat banyak. Kalau sudah mendapatkan Izin dan tanda tangan dari Bupati, instansi pemerintahan ditingkan kecamatan tentu harus mengikuti kebijakan itu,”jelasnya.

            Selain itu, persoalan semakin pelik lantaran konsesi pertambangan PT. Satria Mahkota Gotech berada didalam kawasan cagar alam, yang menurut aturan dilarang untuk melakukan aktivitas dan mengelola sumber daya alam didalamnya. Namun, demikian hal itu tidak berlaku dikabupaten Paser kembali lagi kebijakan pemerintah Kabupaten Paser yang melegalkan aktivitas pertambagan di kawasan cagar alam tidak dapat dielakan.
            ”perusahaan itu menambang di kawasan cagar alam sudah jelas didalam aturan dilarang untuk melakukan aktivitas didalamnya tapi, prakteknya jauh panggang dari api. Lihat saja, sekarang ditengah kawasan cagar alam ada lubang besar menganga tanpa adanya ithikat baik untuk menjalankan jaminan reklamasi pasca tambang,”ungkapnya. 

            Lebih lanjut, persoalan semakin pelik dihadapi oleh PT. Satria Mahkota Gotech lantaran masyarakat yang berada di Desa Atang Pait, pernah melakukan protes langsung kepada pihak perusahaan karena Desa ini menjadi jalan poros utama memasuki lokasi pertambangan di desa Tajur kerap dilewati truk dan alat berat perusahaan sehingga mengakibatkan rusaknya jalan poros tersebut.
“Masyarakat Desa Atang Pait, pernah melakukan demonstrasi di perusahaan itu. Bahkan masalah ini, pernah juga dilaporkan ke Polda dengan dasar kerusakan lingkungan dan kerugian masyrakat lantaran rusaknya fasilitas jalan umum di desa ini, ungkapnya” selain itu, aktifitas pengerukan lahan tambang di kawasan cagar alam juga menjadi dasar pelaporan ke Polda. Tapi, sampai sekarang tidak ada upaya aparat penegak hukum untuk meneruskan kasus tersebut melalui penyelidikan maupun penyidikan, bahkan kami juga sudah mengeluarkan Peraturan Desa yang merujuk pada UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa untuk menekan pihak perusahaan namun, tetap saja tidak bergeming” sambung Ardiansyah Kepala Desa Atang Pait.

Dari aspek lingkungan juga demikian, masyarakat menyayangkan sikap BLH Kab. Paser yang tidak tegas mengawasi kerusakan lingkungan akibat limbah batu bara yang masuk ke lahan pengairan kebun kelapa sawit milik warga didaerah Desa tersebut.sehingga, membuat warga berasumsi kalau pihak perusahan tidak memiliki izin Amdal kalaupun ada hingga saat ini pihak perusahaan tidak pernah sekalipun mensosialisasikan nya kepada warga setempat.
“kerusakan lingkungan sudah terjadi, asumsi warga sangat beralasan lantaran pihak Perusahaan tidak pernah melakukan pemulihan kualitas air dan tanah. Padahal, kegiatan produksi tambang mengakibatkan lahan perkebunan sawit warga tercemar,”ungkapnya.

Selain itu, dia juga menyayangkan kalau ada oknum aparat Desa Tajur yang mengambil keuntungan dibalik persoalan itu. Pasalnya, oknum aparat Desa itu kerap menerima fasilitas barang dan uang dari pihak perusahaan lantaran sudah membantu proses pembukaan lahan dikawasan tersebut.
“Oknum aparat desa Tajur pernah menerima anggaran, namun tidak tahu pasti nominalnya berapa, anggaran itu hasil dari pembukaan lahan,”tuturnya. Selain itu, pihak perusahaan juga mempekerjakan 16 orang pemuda setempat untuk mengawasi jalannya proes produksi. Sehingga, jika terjadi permasalahan yang  berkomplik malah warga dengan warga,” ujarnya seraya melihatkan beberapa dokument milik perusahaan yang dia simpan.



 


  
Masyarakat temukan, perusahaan tebang diluar RKT

Masyarakat Desa Pinang Jatus Kecamatan Long Ikis, mengakui bahwa PT.Greaty  Sukses  Abady Unit  I telah menyalahi ijin lantaran melakukan produksi penebangan kayu diluar RKT yang sudah disepakati.
Pasalnya, dari Rencana Kerja Tahunan (RKT) yang sudah disepakati dengan pemerintah Kabupaten Paser melalui surat rekomendasi pencadangan areal hutan dari menteri kehutanan NO.SK.67/MENHUT-II/2006 tanggal 27 maret 2005 sudah secara jelas mengatur pembagian wilayah produksi kayu dan area tebang diluar konsesi hutan lindung.
“RKT nya memang sudah betul, tapi pelaksanaan nya diluar itu. Bahkan parahnya, lagi aktivitas penebangan dilakukan di kawasan lindung yang sudah jelas dilarang oleh Undang-undang,” ujar nurdin, salah seorang tokoh masyarakat di Desa Pinang Jatus.
Temuan pelanggaran ijin ini didapati oleh masyarakat setempat ketika melihat aktivitas pekerja perusahaan yang melakukan penebangan hingga masuk di kawasan lindung. Sementara dari pihak instansi terkait dalam hal ini Dinas kehutanan dan pertambangan mineral batu bara Kab. Paser tidak secara tegas melakukan pengawasan di area kelola hutan perusahaan tersebut.
“bagaimana, mau tegas persoalanya setiap pengecekan dan monitoring yang dilakukan 2 orang petugas dari Dinas Kehutanan hasilnya selalu nihil tidak ada pelanggaran,”bebernya.” Info yang saya dapati dari aparat desa, ternyata petugas Dishut menerima sejumlah uang dengan nominal 5 juta perorang dari pihak perusahaan ketika proses pengecekan dan monitoring dilakukan sehingga hasil monitoring yang dilakukan tidak secara gambalang di laporkan apalagi mengenai adanya indikasi penebangan diluar RKT yang melebihi jatah tebang tahunan,” sambungnya.

Selain itu, keterlibatan pihak aparat Desa Pinang Jatus memiliki peranan penting dalam menafikan adanya unsur pelanggaran ijin yang dilakukan oleh PT.Greaty  Sukses  Abady Unit  I pasalnya, menurut keterangan warga setempat oknum aparat desa setempat telah menerima sejumlah fasilitas barang dari pihak perusahaan bahkan indikasinya juga menerima sejumlah uang sebagai dispensasi penerbangan yang dilakukan pihak perusahaan diluar konsesi.
Aparat desa pinang jatus menerima fasilitas barang berupa genset, begitu juga sejumlah uang yang diberikan sebesar setengah miliar karena mengijinkan penebangan yang dilakukan berada  diluar konsesi yang sudah ditetapkan,” ungkapnya.

            Berdasarkan, data dari Dinas Kehutanan dan pertambangan mineral batu bara Kabupaten Paser PT.Greaty  Sukses  Abady Unit  I ada salah satu perusahaan yang mendapatkan masa berlaku izin nya hingga 26 maret 2026. Wilayah pengelolaan di Kecamatan Longkali, Kabupaten Paser dengan Luas wilayah 31.080 Ha.
            Masa berlaku izin hingga tahun 2026 dengan kondisi yang sedemikian rupa serta keterlibatan aparat  pemerintah yang meraup keuntungan dengan adanya persoalan ini. Tidak menutup kemungkinan sumberdaya alam yang sangat melimpah di sektor kehutanan yang berada di wilayah Kabupaten Paser bakal habis oleh karena prilaku-prilaku pemangku kebijakan yang tidak koperatif dan hanya untuk meraup pundi-pundi rupiah untuk kepentingan pribadi maupun kelompok.


Pemangku Kebijakan Tidak Tersentuh Hukum

Kebijakan percepatan pembangunan daerah tidak terlepas dari penggunaan  sumber daya  alam agraria. Beragam konsesi diberlakukan melalui kebijakan pemerintah pusat maupun ditingkatan daerah untuk meningkatkan Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) maupun pendapatan asli daerah (PAD) melalui pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam dalam  sektor pertambangan, kehutanan dan perkebunan. Ketiga sektor ini jelas menjadi tumpuan pemerintah daerah Kabupaten Paser untuk mensejahterakan masyarakat setempat jika dikelola dengan baik dan benar.
Pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam ini, sangat rasional jika diperuntukan sepenuhnya bagi kesejahteran rakyat. Namun, yang menjadi persoalan kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah tidak sejalan dengan prinsip pelestarian sumber daya alam.  Alih-alih kebijakan, pemerintah untuk kesejahteraan rakyat namun, dalam pelaksanaannya kerap berbenturan dan menabrak aturan yang ada.
Semisal, ditingkatan pemerintah daerah Kabupaten Paser yang berada di selatan provinsi Kaltim ini, berdasarkan topogrfi wilayah memiliki luas 11.603,94 Km2. Luas ini terdistribusi ke 10 (sepuluh) kecamatan dengan 141 desa/kelurahan. Kecamatan yang memiliki luas wilayah cukup luas adalah Kecamatan Long Kali dengan luas 2.385,39 Km2 dan yang tersempit adalah Kecamatan Tanah Grogot dengan luas 335,58 Km2.[1]
Hampir 60 % Desa/ kelurahan yang terdapat di Kabupaten Paser berada didalam area konsesi pengelolaan sumber daya alam baik, di sektor kehutanan, perkebunan dan pertambangan. Namun, yang lebih memperihatinkan kebijakan yang dikeluarkan terkesan tebang pilih dan tidak koperatif sehingga tidak heran jika pemanfaatan Sumber Daya Alam  Agraria ini kerap menjadi persoalan lantaran berorientasi kepentingan tertentu baik oleh pemangku kebijakan, pemodal asing dan masyarakat meskipun secara gamblang belum terpublikasikan namun, kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Paser tersebut justru mengancam keberlangsungan sumberdaya alam agraria di Kabupaten yang memiliki sebutan Banuo Taka ini .
Hal ini dapat, dibuktikan dengan masih banyak nya perusahaan di sektor Pertambangan, Kehutanan dan Perkebunan yang melanggar ijin dan merusak vegetasi lingkungan di wilayah konsesi ijin produksi, ekspoitasi dan eksplorasi yang sudah ditetapkan oleh pemerintah Kabupaten Paser (Lihat Table diatas). Walaupun sektor pertambangan, perkebunan dan kehutanan memang menjadi daya tarik selain sebagai penunjang Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Paser sektor ini juga memberikan peluang kerja bagi masyarakat setempat. Meskipun, dalam penataannya terkesan karut-marut dan menabrak aturan sana-sini. Namun, pemerintah Kabupaten Paser patut berbangga hati lantaran tidak ada kecaman yang bersifat masiff dari golongan maupun kelompok tertentu yang menyoal dan menyalahkan Pemerintah Kabupaten Paser lantaran telah turut serta dalam merusak Sumber Daya Alam di wilayah tersebut.


Penulis
Fajrin Noor
Peneliti Local Monitoring ICW 
Pepara, Kab. Paser 8 Oktober 2014



[1] Data ini, dihimpun dari Dokumen Paser dalam Angka Tahun  2013 yang  merupakan arsip yang dimiliki Badan Pusat statistik Kabupaten Paser Tanggal 19 September 2014.