Kamis, 20 November 2014

Celah pelanggaran hukum di sektor Perkebunan Kelapa Sawit

















Kabupaten Paser

       Produksi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Paser terbilang melimpah dukungan terhadap sektor ini begitu masif mengingat sektor perkebunan yang dikembangkan sesuai dengan letak topografi dan kontur tanah dan wilayah sehingga, sektor perkebunan menjadi salah satu tulang punggung Pemerintah Kabupaten Paser untuk meraup pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor ini sedangkan dalam perkembanganya pengelolaan sektor perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Paser tidak hanya dikelola oleh pemerintah kabupaten namun, juga turut mengakomodir keterlibatan pihak investor dan swasta dalam mengelola kelapa sawit yang notabena menurut petani sawit vegetasi tumbuhan ini boros serapan air.

          Selain usaha produksi kelapa sawit yang dikelola pemerintah maupun pihak swasta produksi perkebunan kelapa sawit juga giat digalakan oleh masyarakat  setempat. Sehingga, tidak mengherankan jika 60 persen pedesaan yang terdapat di Kabupaten Paser memiliki potensi perkebunan kelapa sawit.  Produksi kepala sawit ini tentunya memberikan keuntungan besar tidak hanya pajak retribusi atau  Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Paser dari sektor ini juga memberikan peluang lapangan pekerjaan kepada penduduk setempat.

            Selain, karena kontur tanah dikabupaten Paser dapat menyesuaikan dengan tumbuh kembang bibit kelapa sawit  kebijakan pemerintah juga memiliki andil besar terhadap sektor ini. Lantas melihat dominasi kelapa sawit sebagai sektor penyumbang PAD terbesar didaerah kabupaten banuo taka ini sudahkah kebijakan ini diterapkan tanpa menabrak aturan-aturan yang ada baik regulasi ditingkat daerah maupun ditingkat pusat ?

















            Indikasi celah pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemangku kebijakan tidak menutup kemungkinan dilakukan mengingat sektor ini, merupakan lahan basah bagi pemangku kebijakan untuk memperkaya diri sendiri dan kepentingan partai poitik pengusung. Mekanisme dalam kebijakan pemberian izin usaha perkebunan dapat menjadi salah satu indikator celah pelanggaran hukum terutama tindak pidana korupsi. Adapun, celah-celah ini dimanfaatkan oleh pemangku kebijakan melalui tahapan-tahapan izin yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah Jika merujuk pada aturan yang ada untuk mendapatkan izin Usaha perkebunan tentunya harus melalui tahapan-tahapan yang harus dilalui terlebih dahulu oleh pihak perusahaan swasta/ investor diantara tahapan tersebut sebagai berikut yaitu:
a.       Surat pernyataaan dari Kepala Desa menyatakan tanah Negara
b.      Arahan lokasi
c.       Persetujuan prinsip arahan lokasi dari Bupati
d.      Izin lokasi untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit
e.       Izin pembukaan lahan
f.       Penetapan kebun  masyarakat diluar  areal IUP-P dan IUP-B oleh Bupati usulan Camat
g.      Kesepakatan pelepasan hak atas tanah dari masyarakat diketahui oleh Gubernur  atau Bupati
h.      Izin pelepasan kawasan hutan dari Kemenhut
i.        Izin pemakaian alat berat dari Bupati
j.        Izin Lingkungan dari Gubernur atau Bupati
k.      Surat Hak Guna Usaha
          Dari tahapan-tahapan yang sudah ditetapkan ini tidak sepenuhnya berjalan dengan maksimal seperti lalainya pihak pemodal serta sikap pragmatis dalam memenuhi prasyarat yang sudah ditetapkan itu menjadi soal dan polemik berkepanjangan jika pemerintah daerah kabupaten Paser tidak empati dan tegas dalam mengambil sikap. Tentunya, persoalan ini akan menimbulkan efek negatif  yaitu prilaku semena-mena dan tidak taat aturan dilakukan oleh pihak perusahaan swasta bahkan tidak dapat menutup kemungkinan loggarnya  kebijakan tersebut akan menimbulkan kerusakan lingkungan disekitar area usaha perkebunan.

        Kebijakan, yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Paser untuk sektor  perkebunan menjadi tolak ukur keberlangsungan sektor usaha perkebunan dimasa yang akan datang namun, yang terpenting adalah kebijakan yang berlakukan betul-betul untuk kesejahteraan masyrakat di Kabupaten Paser bukan mengeluarkan kebijakan yang hanya bertujuan untuk meraup keuntungan dan kekayaan pribadi penguasa atau golongan tertentu.

          Sektor perkebunan memang tidak sepenuhnya menjadi pusat perhatian dibandingkan dengan sektor-sektor lainya seperti pertambangan maupun kehutanan. Namun, jika ditelaah lebih detail sektor ini justru menjadi sarang bagi penguasa untuk memperkaya diri melalui sistem kebijakan yang longgar dan tebang pilih sementara, begitu juga dengan dukungan  pihak investor yang terkesan pragmatis yang menghalalkan segala cara meskipun menabrak aturan yang berlaku sehingga izin dapat diterbitkan dengan mengenyampingkan syarat-syarat yang ada. Indikasi tindak pidana korupsi di sektor perkebunan bukan tidak mungkin saat ini sudah dilakukan oleh pemangku kebijakan di Kabupaten Paser  hanya saja belum sepenuhnya dapat dipublikasikan selain karena pemerintah daerah melakukanya dengan rapi tanpa tersentuh oleh penegak hukum. Kecendrungan masyarakat yang apatis semakin melangnggengkan praktek korupsi ini kian menjamur bahkan ke akar rumput setingkat aparat desa pun juga ikut bermain dalam meraup keuntungan dari sektor ini. 















             Jika persoalan itu, menjadi tolak ukur maka celah-celah tindak pidana korupsi yang mungkin bisa saja dilakukan melalui kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Paser indikatornya adalah sebagai berikut;[1]

Pada tahap pelaksanaan kegiatan di sektor perkebunan, korupsi dapat terjadi antara lain pada:
              i.      Tahap penyusunan Amdal
Korupsi dalam tahap penyusunan Amdal umumnya dilakukan dengan melakukan suap atau gratifikasi kepada pejabat penyusun Amdal (Komisi Amdal dan BPLH), agar pejabat penyusun Amdal mempercepat pembuatan Amdal tanpa perlu melakukan verifikasi mendalam terhadap kondisi kelayakan lingkungan atau memanipulasi data dampak terhadap lingkungan. Rawan suap juga terjadi karena tempat pertemuan dan pembiayaan rapat dibayar oleh perusahaan.

            ii.      Tahap perolehan lahan untuk perkebunan
Lahan untuk perkebunan dapat berupa kawasan hutan atau non kawasan hutan (atau dikenal dengan sebutan Areal Penggunaan Lain – APL). Jika lahan tersebut berada di dalam kawasan hutan, maka (calon) pengusaha kebun wajib mendapatkan izin pelepasan kawasan agar dapat mengusahakan kawasan tersebut.

Beberapa pola korupsi yang dapat terjadi tahap ini adalah:
-          Suap atau gratifikasi untuk mendapatkan izin pelepasan kawasan yang menyalahi Rencana Tata Ruang, misalnya memberi suap kepada pejabat di Kemenhut agar dapat membuka kebun di dalam kawasan hutan lindung.
-          Suap atau gratifikasi untuk mendapatkan izin lokasi yang menyalahi aturan. Ijin Lokasi ini merupakan ijin awal yang harus dimiliki perusahaan untuk mendapatkan lokasi investasi dan melakukan pembebasan lahan terhadap masyarakat.
-          Menyalahgunakan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri. Modus ini digunakan dalam pengadaan dan pelepasan tanah untuk kebun sawit dimana pejabat pemerintah tidak membayar ganti rugi  kepada masyarakat.Modusnya perusahaan sawit mengajak aparat pemerintah (pejabat di Dinas Pertanian, Camat, Kapolsek, Danramil serta Kades), untuk ikut melakukan pembebasan lahan dan pembayaran ganti rugi lahan masyarakat. Namun kerap ditemukan pagu pelepasan lahan dari perusahaan disunat oleh oknum pemerintah ini ketika melakukan pembayaran kepada masyarakat. Bentuk korupsi lainnya dalam tahap ini adalah mengajukan izin pelepasan kawasan untuk perkebunan sawit, tetapi yang dilakukan di kawasan tersebut justru menebang kayu dan setelah mendapatkan kayu, perkebunan sawit tidak kunjung ditanam.

          iii.      Tahap kegiatan perkebunan
Pada tahap ini, korupsi umumnya terjadi dalam bentuk:
-          Suap atau gratifikasi agar dapat melakukan usaha perkebunan di areal seluas ≥ 25 Ha tanpa Izin Usaha Perkebunan (IUP)
-          Suap atau gratifikasi agar memperoleh IUP walaupun kawasan atau lahan yang diajukan tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Kalaupun lokasi yang dimintakan izin sesuai dengan RTRW, seringkali pengusaha harus membayar untuk mendapatkan IUP, bahkan hingga mencapai Rp. 50 juta
-          Suap atau gratifikasi untuk mendapatkan IUP tanpa Amdal dan/atau izin pelepasan kawasan dan/atau izin lokasi
-          Suap atau gratifikasi untuk mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU) tanpa izin pelepasan kawasan dan/atau izin lokasi dan/atau IUP. Dalam proses pengurusan ini, biasanya ada proses tarik-ulur antara perusahaan dan pemerintah, dalam hak ini BPN Pusat, yang berkepentingan menerbitkan HGU. Ada sebagian perusahaan menunda-nunda pengurusan HGUnya demi menghindari pajak bumi dan bangunan. Anehnya, tidak ada satu pihak pun yang merasa berkepentingan untuk menghukum perusahaan yang menghindari pajak ini.Dari situasi ini, penulis berasumsi dinas pertanian dan dinas perpajakan sepertinya terindikasi menerima suap sehingga tidak melakukan tindakan apapun.

     Selain itu, ketika perusahaan melakukan pengurusan HGU, panitia B (pihak pemerintah yang diwakili oleh pemkab, pemprov, BPN kab, BPN prov dan bapedalda, kerap meminta fasilitas dar perusahaan untuk melakukan pengukuran lahan, pertemuan dengan banyak masyarakat soal sengketa lahan dan lain sebagainya. Itu belum termasuk biaya administrasi yang harus dikeluarkan ketika pengurusan HGU.

       Berdasarkan tahapan-tahapan itu, menjadi mata rantai yang melibatkan berbagai element seperti dari lembaga pemerintah kabupaten, meskipun sulit untuk membuktikan keterlibatan Pemerintah Kabupaten Paser lantaran tidak terbukanya pihak pemerintah kabupaten untuk menganalisa dokument perizinan disektor perkebunan kelapa sawit. Namun, jika berdasarkan karakteristik umum pelanggaran/perbuatan melanggar hukum yang sering dilakukan oleh perusahaan diantaranya yaitu perbuatan didalam kawasan hutan tanpa hak/izin, perbuatan atas hasil hutan tanpa izin dan pengrusakan hutan.
Padahal,  didalam UU Perkebunan No. 18 Tahun 2004 disebutkan beberapa jenis perbuatan yang akan dikenakan ketentuan pidana yaitu:
1)      Setiap orang yang dengan sengaja melakukan usaha budi daya tanaman perkebunan dengan luasan tanah tertentu dan/atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas tertentu tidak memiliki izin usaha perkebunan
2)      Setiap orang yang karena kalalaiannya melakukan usaha budidaya tanaman perkebunan dengan luasan tanah tertentu dan/atau usaha industri pengolahan hasil perkebunan dengan kapasitas tertentu tidak memiliki izin usaha perkebunan
3)      Setiap orang yang dengan sengaja membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup
4)      Setiap orang yang melakukan pengolahan, dan/atau pemasaran hasil perkebunan
5)      dengan sengaja melanggar larangan:
a.       memalsukan mutu dan/atau kemasan hasil perkebunan;
b.      menggunakan bahan penolong untuk usaha industri pengolahan hasil perkebunan; dan atau
c.       mencampur hasil perkebunan dengan benda atau bahan lain; yang dapat membahayakan kesehatan  dan keselamatan manusia, merusak fungsi lingkungan hidup, dan/atau menimbulkan persaingan usaha tidak sehat,
6)      Setiap orang yang dengan sengaja melanggar larangan menadah hasil usaha perkebunanyang diperoleh dari penjarahan dan/atau pencurian.

      




 Penegasan yang sudah termaktub secara jelas didalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan  tentu menjadi landasan normatif yang mengikat dan harus ditaati bukan hanya diterpakan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Paser saja namun, juga harus ditaati oleh pihak investor/ pemodal dan yang lebih terpenting adalah kesadaran masyarakat yang cenderung pragmatis agar juga turut serta dalam mentaati aturan yang ada. Sehingga, dengan adanya ketaatan dan sadar hukum celah-celah tindak pidana korupsi didalam sektor perkebunan dapat diminimalisir dan pengeloaan hasil perkebunan dapat dilaksanakan selaras dengan perkembangan jaman serta diperuntukan sebesar-besarnya demi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Kabupaten Paser.


Penulis
Fajrian Noor

09/11/2014
Desa Simpang Pait Kecamatan Long Ikis Kabupaten Paser


 















                [1] Dikutip dari Panduan Investigasi Korupsi Tata Guna Hutan dan Lahan, Indonesia Corruption Watch, 2012, hal. 4.