Sabtu, 20 Desember 2014

Eksistensi Hutan Kemasyarakatan



Sub: Prioritas untuk kesejateraan masyarakat

Keberadaan sumberya alam hutan di Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak hanya diperuntukan bagi negara dan pembangunan nasional  namun negara juga harus mengakomodir keterlibatan dan Peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan secara lestari. Prinsip  demikian, dalam pengelolaan hutan harus sejalan dengan kepentingan penguasaan hutan oleh masyarakat. Meskipun, berdasarkan kebijakannya pembagian kawasan hutan untuk konservasi, lindung, dan produksi merupakan upaya pemerintah dalam, melestarikan sumberdaya hutan tentunya kepentingan masyarakat yang berada didalam konsesi hutan yang dikelola pemerintah tersebut tidak dapat dikesampingkan.
  Pemerintah telah mencoba mengakomodasi berbagai aspirasi yang berkembang mengenai kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat.  Tentu saja akomodasi-akomodasi yang telah dan akan dilakukan pemerintah tidak bisa begitu saja terlepas  sama sekali dari kepentingan-kepentingan pemerintah terhadap sumberdaya alam dan sistem serta mekanisme yang sudah berjalan dalam birokrasi pemerintah selama ini.[1]Misalnya seperti kebijakan HKM (Hutan Kemasyarakatan) yang secara filosofis - menurut beberapa pihak baik di pemerintah maupun ornop – merupakan pemberian atau penyerahan kepercayaan dan hak kepada masyarakat lokal untuk mengatur   kehidupannya sendiri.

Kebijakan penetapan  hutan kemasyarakatan merupakan Kedaulatan rakyat atas hutan dan sumberdaya alam yang diartikan sebagai otonomi rakyat dalam mengatur dan mengelola sumberdaya alamnya secara lestari dan berkelanjutan antar generasi hal ini akan dapat dicapai melalui kemandirian masyarakat dalam mengatur dan mengelola kehidupannya dan kebijakan pemerintah yang menghormati dan melindungi otonomi rakyat tersebut.[2] 
Kebijakan pemerintah melalui sistem dapat melindungi Hutan Kemasyarakatan (HKM) ataupun dapat menjadi ancaman bagi keberlanjutan Hutan Kemasyrakatan (HKM) . jika kebijakan tersebut memberikan ijin bagi investasi perkebunan, pertambangan, HPH, atau HTI di wilayah-wilayah Hutan Kemasyarakatan (HKM). Kebijakan pemerintah melindungi keberadaan Hutan Kemasyarakatan, jika memberikan pengakuan terhadap keberadaan Hutan Kemasyarakatan sebagai upaya pemerintah untuk memberikan kedaulatan penuh kepada rakyat untuk mengelola sumberdaya alam dan tidak mengeluarkan ijin investasi skala besar bagi pihak luar di wilayah Hutan Kemasyarakatan. Pengakuan dalam bentuk kebijakan yang tertulis dari pemerintah dapat menjadi landasan hukum bagi masyarakat yang diberi kedaulatan untuk mengelola hutan kemasyarakatan serta melindungi kawasannya dari ancaman pihak luar.[3]

            Lantas sudahkah ditetapkan kebijakan sepenuhnya untuk memberdayakan masyarakat?

Penetapan Hutan kemasyarakatan dimaksudkan untuk  pengembangan kapasitas dan pemberian akses terhadap masyarakat setempat dalam mengelola hutan secara lestari guna menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat untuk memecahkan persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, keberadaan Hutan Kemasyarakatan bertujuan untuk Meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemanfaatan sumber daya hutan secara optimal, adil dan berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup.[4]

Sebelum memanfaatkan sumberdaya hutan yang diperuntukan bagi masyarakat setempat yang berdasarkan fungsinya yaitu hutan lindung dan hutan produksi guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat harus terlebih dahulu meliputi:[5]
a. penetapan areal kerja hutan kemasyarakatan;
b. perizinan dalam hutan kemasyarakatan;
c. hak dan kewajiban;
d. pembinaan, pengendalian dan pembiayaan;
e. sanksi;
Areal kerja hutan kemasyarakatan ditetapkan sebagai areal kerja hutan kemasyarakatan adalah kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi. Hutan Lindung dan Hutan Produksi  dapat di tetapkan jadi hutan kemasyarakatan jika belum dibebani hak atau izin dalam pemanfaatan hasil hutan; dan menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan oleh masyarakat setempat  pada hakekatnya merupakan pola pemanfaatan hutan negara oleh sekelompok masyarakat yang berada di sekitar hutan yang ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat.
Pada dasarnya Hutan kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utama ditujukan untuk memberdayakan masyarakat (penjelasan Pasal 5 ayat 1).  Pengaturan mengenai hutan kemasyarakatan ini telah ada sebelum UU 41/99 lahir dan sudah mengalami beberapakali perubahan.  Peraturan mengenai  Hutan Kemasyarakatan  yang terakhir  adalah Kepmenhut No. 31/Kpts-II/2001. Pada dasarnya Hutan Kemasyarakatan adalah hak pengelolaan hutan negara yang diberikan pemerintah kepada masyarakat dengan jangka waktu tertentu di semua fungsi kawasan hutan baik fungsi produksi maupun fungsi konservasi. Pilihan hak yang tersedia dalam UU No. 41 tahun 1999 paling tiinggi gradasinya hanya sebatas hak pengelolaan hutan yang tentunya dengan jangka waktu terbatas.  Hak tersebut dapat dicabut kembali oleh pemrintah sewaktu-waktu atau pada waktu habis jangka waktunya. Artinya pilihan yang ada dalam UU 41/99 tidak memberikan jaminan keamanan dan kepastian pengelolaan SHK secara sustainable dalam jangka panjang.[6]

Kepentingan masyarakat atas keberadaan fungsi hutan pada hakikatnya mengandung kekuasaan yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dengan perlindungan hukum ini maka subyek hak dapat menuntut haknya terhadap setiap gangguan pihak lain termasuk negara. Artinya, kepentingan merupakan sasaran hak. Bukan hanya karena dilindungi oleh hukum melainkan juga karena adanya pengakuan terhadapnya.[7]
Untuk  memberikan jaminan serta kepastian pengelolaan Hutan Kemasyarakatan  ketertiban hukum harus diwujudkan oleh negara melalui pengaturan  hubungan hukum antara manusia dengan sumberdaya alam atau manusia dengan manusia yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam. Dengan demikian melalui penetapan hutan kemasyarakatan kelompok masyarakat berkepentingan dan memiliki hak dalam pengelolaan sumberdaya hutan serta memberikan peluang bagi  masyarakat untuk mengelola hutan secara lestari tanpa intervensi oleh negara maupun kepentingan investasi pemodal.


Penulis
Fajrian Noor


[1]Muayat Ali Mhusi, Artikel  Tantangan dan peluang pengakuan sistem hutan kerakyatan (SHK) di era Otonomi Daerah hlm. 5-6
[2] Ibid,.hlm 7
[3] Diakses dari, http://gagasanhukum.wordpress.com/2008/12/25/hukum-kehutanan-administrasi/
Siti Khotijah, artikel: Hukum Kehutanan Administrasi.
[4] Gunanegara, Rakyat dan Negara, PT Tata Nusa, Jakarta,2008, hlm. 31
[5] Ibid,.hlm 32-33
[6] Rafael Edy Bosko, Hak-hak Masyarakat Adat dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Alam, ELSAM, Jakarta, hlm 12.
[7] Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum, Edisi Ketiga Liberty. Yogjakarta. 1991.hlm 10-41.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar