Selasa, 18 Agustus 2015

Diskriminasi Hak Sipol, Eks Tapol Belum Temukan Makna Kemerdekaan


             Paelan Gimin, Untung Suyanto, Sukarman, ngadiman, Tukiman, Sujayus, Muradi Kaswan, merupakan sederet nama dari 35 orang warga eks tahanan politik orde baru yang kini masih hidup dan masih dapat menceritakan pahit dan getirnya kisah hidup yang mereka alami pada jaman orde baru pemerintahan Presiden Suharto.  38 tahun sudah mereka bermukim di Desa Siaga Kelurahan Argosari Kabupaten Kutai Kartanerga, sejak itu pula hingga saat ini mereka masih memendam kekecewaan yang mendalam karena perlakuan pemerintah orde baru terhadap mereka, ragam penyiksaaan fisik dan moril sudah menjadi penghakiman yang dialami oleh seluruh warga eks tahanan politik di desa itu. Saat ini, hanya pengharapan yang mereka inginkan yaitu, rehabilitasi dari stigma negatif dan perlindungan hak sipil politik mereka sebagai warga negara Indonesia.

           Pada mulanya, sederet nama para eks tapol itu telah dihakimi tanpa melalui proses peradilan yang  jelas karena dituduh terlibat sebagai bagian dari Gerakan PKI 30 September 1965 kemudian, dinyatakan bebas tahun 1977.Para eks tapol di Desa Siaga itu terdiri dari berbagai latar belakang tidak hanya warga sipil melainkan eks tapol yang berstatus sebagai anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) ) pada saat itu berjumlah 40 orang. Perlakuan diskriminatif yang mereka alami lantas tidak berakhir begitu saja pasca mereka sudah dinyatakan bebas. Melalui Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dibentuk  Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) setelah peristiwa penculikan jenderal tahun 1965 di Jakarta. Mayjen Soeharto yang menjadi komando pertama dan pada tahun 1977, pelaksana tugas hariannya diserahkan kepada Laksamana Soedomo.

           Oleh, Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib)  Para eks tapol tahun 1965 yang dituduh terlibat dalam pemberontakan bersama partai Komunis Indonesia (PKI) di seluruh provinsi di  Indonesia termasuk pemulihan keamanan yang di lakukan di Kalimantan Timur yang meliputi, Kota Samarinda, Balikpapan, Kutai Kartanegara dan Kabupaten Paser. Melalui Kodam Mulawarman proses pemulihan keamanan dan ketertiban dilakukan di kota-kota itu dalam proses pemulihan tersebut, Kodam Mulawarman berhasil menemukan orang-orang yang dituduh terlibat dalam pemberontakan PKI 30 September 1965. Seluruh orang-orang yang dituduh itu dikumpulkan lalu kemudian ditempatkan di suatu barak penampungan yang terdapat di wilayah Amburawang Darat. Kondisi barak penampungan tersebut sangat memilukan hati bagi siapa pun orang yang melihatnya. Tembok tinggi dan pagar berduri mengelilingi barak penampungan itu. Belum lagi, pengawasan serdadu bersenjata di pos-pos jaga membuat para eks tapol tidak memiliki keleluasaan dalam menjalankan setiap aktifitasnya. Para eks tapol kemudian diharuskan untuk wajib lapor 3 kali dalam 1 hari pada saat para eks tapol ingin keluar barak untuk kepentingan berobat atau berbelanja untuk kebutuhan hidup mereka selama berada di dalam barak penampungan.

           Kehidupan mereka didalam barak penampungan itu sangat terisolir tidak mendapatkan akses informasi serta ruang gerak yang sangat terbatas. Barak yang dijadikan penampungan itu sejogyanya menrupakan camp konsentarasi bagi para eks tapol di wilayah itu yang kini bernama  Desa Siaga di desa ini lah menjadi saksi bisu kekejaman dan perlakuan diskriminatif yang telah dialami oleh warga eks tapol yang bermukim ditempat itu.  desa ini, ditetapkan oleh pemerintah orde baru sebagai camp konsentrasi yang diperuntukan sebagai tempat rehabilitasi warga eks tapol tahun 1965. Dalam melakukan rutinitas sehari-hari warga eks tapol kemudian diharuskan untuk membuka lahan hutan belantara yang tidak jauh dari barak karena pada saat itu wilayah barak tersebut merupakan hutan belantara yang tidak berpenghuni. Rutinitas menebang pohon-pohon besar dan merintis lahan semak belukar didalam hutan belantara menjadi kegiatan sehari-hari  para warga eks tapol ketika itu. Sedangkan,  untuk mencukupi kebutuhan ekonomi para eks tapol diperoleh dari lahan yang sudah dirintis  yang kemudian menjadi lahan pertanian dan kayu-kayu hasil penebangan pohon hutan oleh para eks tapol dijual sebagian digunakan untuk membuat rumah.

           2 tahun setelah para eks tapol menjalankan rutinitas dan aktivitas dibawah pengawasan serdadu ABRI dengan ruang gerak yang terbatas tersebut, pada tahun 1979 para eks tapol dibebaskan dari proses relokasi dan pengekangan di dalam barak itu kemudian, para eks tapol diberikan hak untuk menempati lahan hutan yang sudah mereka rintis. Hingga sampai dengan saat ini, lahan rintisan itu sudah menjadi wilayah desa yang berkembang dan  banyak dihuni pemukiman penduduk tidak hanya warga yang berstatus  eks Tapol melainkan juga dihuni oleh warga sipil lainya yang tidak berstatus eks Tapol. Kemudian, pada tahun 2002 melalui kebijakan Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur dilakukan pemekaran wilah kabupaten sehingga Desa Argosari ditepakan dan  masuk wilayah administratif  Pemerintahan Kabupaten Kutai Kartanegara yang kemudian wilayah itu ditetapkan statusnya dari Desa menjadi Kelurahan. 

         Sebelum  penetapan  wilayah adminstratif menjadi Kelurahan Argosari  nama Desa Argosari memiliki  sejarah panjang yang didasarkan pada  hasil musyawarah yang dilaksanakan masyarakat di camp rehabilitasi pada tahun 1979 maka terciptalah nama Argosari. Nama Argosari sendiri mempunyai unsur filosifi yang mana Argo berarti Gunung karena Desa argosari secara letak geografis bergunung-gunung dengan dikelilingi oleh sungai-sungai yang mengalir menuju laut, serta Sari yang berarti ampas karena warga yang pertama kali ada di desa ini merupakan eks tahanan politik tahun 1965 dimana pada saat itu stigma tentang tapol merupakan warga negara yang sangat hina dan tidak layak hidup di negara Indonesia.

        Dari filosofi nama Argosari yang disematkan sebagai wilayah bermukimnya para warga eks Tapol itu sangat jelas mengandung makna mendalam bagi mereka, seakan menegaskan kembali bahwa mereka merupakan orang-orang yang disingkirkan dan tidak diakui keberadaan nya di negeri ini. Walaupun status kependudukan mereka sudah tidak lagi menyandang eks tapol namun, hal itu belum cukup mengobati rasa kekecwaan yang mereka alami pada saat itu sampai dengan detik ini. Stigma negatif terhadap mereka masih saja disematkan kepada mereka walaupun tidak terpublikasi secara terbuka perlakuan diskriminatif masih mereka alami terutama pemenuhan hak sipil politik yang mereka inginkan sebagai warga negara Indonesia.

           Sejarah kelam ini pasca relokasi pada tahun 1979 seharusnya sudah cukup bagi para warga eks tapol di desa itu merasakan perlakuan diskriminasi, dan sudah seharusnya pula Pemerintah Kabupaten Kukar memberikan perlindungan hukum  dalam setiap aspek kehidupan mereka terutama penghapusan stigma negatif dan pemenuhan hak sipil politik . kepada warga eks tapol agar sama dengan warga lainya sebagaimana didalam konteks persamaan kedudukan setiap warga negara Indonesia di muka hukum. Pemenuhan hak sipil politik, merupakan keinginan yang menjadi harapan mereka saat ini, terlebih diperuntukan bagi anak-anak keturunan para eks tapol karena saat ini, hak sipil politik yang seharusnya mereka peroleh jauh panggang dari api.

          Perlakuan diskriminatif yang dialami oleh setiap anak-anak keturunan eks  tahanan politik meskipun tidak terpublikasi secara umum namun masih dirasakan misalnya, anak-anak keturunan eks tahanan politik tidak diperbolehkan untuk menikah dengan anggota TNI pelarangan ini dilakukan oleh Kodam Mulawarman kepada seluruh prajuritnya dari jenjang kepangkatan manapun. Jika, terbukti dan ditemukan  terdapat prajurit yang melanggar tentunya akan diberikan sanksi tegas dengan 2 opsi yaitu, tetap melanjutkan menikah dengan anak eks tahanan politik dan dipecat dari kesatuannya atau membatalkan pernikahan dengan anak-anak keturunan warga eks tahanan politik  Kelurahan Argosari.

          Perlakuan dikriminatif lainya yang dialami oleh anak-anak keturunan eks tahanan politik Desa Siaga Kelurahan Argosari Kecamatan Samboja Kabupaten Kutai Kartanegara juga terjadi didalam birokrasi pemerintahan pada saat anak-anak keturunan eks tahanan politik Kelurahan Argosari Kecamatan Samboja Kabupaten Kutai Kartanegara mendaftar menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) atau pegawai honorer di Satuan Perangkat Kerja Daerah (SKPD) Pemerintahan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara. Kalaupun terdapat anak-anak keturunan warga eks tahanan politik  yang diterima menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), anak-anak warga eks tahanan politik tersebut secara administrasi kependudukan harus berkorban untuk keluar dari kartu keluarga orang tuanya atau tidak memakai nama orang kandungnya di dalam mendaftar.

           Selain itu, perlakuan diskriminatif yang lebih tidak manusiawi juga pernah terjadi dan dialami salah satu anak eks Tapol lainya yaitu pada saat anak keturunan eks Tapol mendaftarkan diri menjadi anggota kepolisian, padahal anak tersebut telah menyelesaikan proses seleksi syarat masuk menjadi anggota Polri ditingkat daerah, merubah akta kelahiran dan kartu keluarga pun sudah dilakukan. Namun, nasib berkata lain pada pada saat anak tersebut telah mengikuti proses pendidikan yang sudah berjalan itu harus dipulangkan karena ayahnya merupakan mantan eks Tapol yang dituduh terlibat pada gerakan 30 September 1965 dan saat ini masih bermukim di Desa Siaga Kelurahan Argosari Kecamatan Samboja Kabupaten Kutai Kartanegara.

           Keadaan diskriminasi terhadap pemenuhan hak sipil politik anak-anak keturunan warga eks Tapoldi Desa Siaga Kelurahan Argosasri Kecamatan Samboja Kabupaten Kutai Kartanegara sangat jelas bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 kemudian,Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dan  Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Internasional Covenant On Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Covenant On Civil And Political Rights) mempertegas hak-hak setiap warga negara Indonesia untuk memperoleh hak sipil politik sebagaimana dalam konteks hak sipil yaitu kebebasan fundamental yang diperoleh sebagai hakikat dari keberadaan seorang manusia. Sementara dalam konteks Hak Politik merupakan hak dasar dan bersifat mutlak yang melekat di dalam setiap warga Negara yang harus dijunjung tinggi dan di hormati oleh Negara dalam keadaan apapun.

          Pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Jokowi melalui pidato nya didalam konvensi ketatanegaraan sidang paripurna MPRI pada tanggal 14 Agustus 2015 tentang kinerja lembaga-lembaga negara. Dalam pidatonya  juga menyatakan pemerintah akan mengedepankan hak asasi manusia dan  berjanji akan mengusut tuntas setiap pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Indonesia.  Semoga saja, kebijakan itu bukan hanya sebatas angin segar penyejuk hati sesaat yang nantinya diperoleh warga eks tapol  karena hanya melalui perhatian pemerintah keberadaan hak-hak sipil politik setiap warga eks tapol dapat diwujudkan meskipun stigma negatif masih ada dan dirasakan setidak pemulihan nama baik bagi keturunan mereka menjadi pengharapan disisa hidup warga eks tapol sebagai warga negara indonesia yang sama kedudukanya dimuka hukum dan  harus dilindungi juga keberadaan nya sebagai manusia yang merdeka.




Penulis

Fajrian Noor
(Wakabid Advokasi Hukum)
DPC GMNI Balikpapan















Minggu, 05 April 2015

TELUK BALIKPAPAN SEBAGAI PENYANGGA KERAGAMAN EKOSISTEM HAYATI DALAM PERSFEKTIF HUKUM


  Foto: Tribun Kaltim edisi Kamis, 7 April 2011 19:31




I.      PENGANTAR
Teluk Balikpapan adalah pusat keragaman hayati  paling kaya di Asia.  Hutan mangrovenya menjadi salah satu tempat , dari enam daerah di dunia yang memiliki populasi bekantan (Nasalis larvatus) terbanyak.  Di habitat Teluk ini juga hidup berbagai hewan langka dan dilindungi seperti  Pesut Mahakam, Ikan Duyung, Penyu Hijau (Chelonia midas) Beruang Madu, Macan Dahan, Buaya Muar dan satwa langka lainnya yang semakin terancam keberadaannya.  Keragaman lain yang juga akan terancam adalah Hutan Primer Dipterocarpaceae, padang lamun dan terumbu karang, lebih dari 100 jenis mamalia, 300 jenis burung, 1000 jenis pohon, dan lain-lain.[1]
Berdasarkan letak geografinya Teluk Balikpapan merupakan tubuh perairan yang mengarah kedaratan dan dibatasi oleh  daratan pada ketigasisinya.Teluk Balikpapan adalah perairan yang memisahkankota Balikpapan dengan Kabupaten Penajam Paser Utara. Teluk Balikpapan terletak di barat selat Makassar.Teluk Balikpapan yang berbatasan beberapa daerah, antara lain; [2]
SebelahUtara ; Kota Balikpapan
SebelahSelatan ;Penajam
SebelahBarat ; Wilayah KabupatenPenajamPaser Utara
SebelahTimur ;Selat Makassar.

Fungi dan tujuan sendiri dari teluk Balikpapan ialah untuk menjaga kelangsungan hidup dari satwa atau pun tumbuhan yang hidup di kawasan teluk dan jika pemerintah bias mengkonservasi teluk Balikpapan secara maksimal bias menjadi pemasukan untuk pemerintah melalui wisata alam , dan tidak terkecuali juga manfaat yang di dapat oleh para penduduk setempat yang berdiam di pesisir teluk Balikpapan sebagai mata pencaharian se hari harridan secara global untuk memperlambat perubahan iklim serta peningkatan cadangan karbon untuk hutan sekaligus memberikan kesejukan dengan memberikan kompensasi kepada Negara berkembang untuk melindungi alamnya .
II.    NILAI STRATEGIS
Teluk Balikpapan adalah pusat keragaman hayati  paling kaya di Asia.  Hutan mangrovenya menjadi salah satu tempat , dari enam daerah di dunia yang memiliki populasi bekantan (Nasalis larvatus) terbanyak.  Di habitat Teluk ini juga hidup berbagai hewan langka dan dilindungi seperti  Pesut Mahakam, Ikan Duyung, Penyu Hijau (Chelonia midas) Beruang Madu, Macan Dahan, Buaya Muar dan satwa langka lainnya yang semakin terancam keberadaannya.  Keragaman lain yang juga akan terancam adalah Hutan Primer Dipterocarpaceae, padang lamun dan terumbu karang, lebih dari 100 jenis mamalia, 300 jenis burung, 1000 jenis pohon, dan lain-lain.
Kawasan teluk Balikpapan banyak terdapat flora dan fauna yang sangat cantik Berdasarkan penelitian berbagai penelitian lembaga LSM yang Fokus terhadap penyelamatan habitat satwa endemik di Teluk Balikpapan selama beberapa tahun ini, keberadaan bekantan di Teluk Balikpapan begitu penting, pasalnya kawasan itu menjadi salah satu tempat populasi bekantanterbesar di dunia. Populasi bekantan mencapai 1.400 ekor di Teluk Balikpapan mewakili 5% primate berbulu kuning itu di seluruh dunia.Tentunya ada sekitar 10 jenis primate dan empat jenis mamalia laut termasuk Pesut (Irawady Dolphin) laut yang kesemuanya terdapat di Teluk Balikpapan.
Teluk Balikpapan  memiliki luas daerah aliran sungai (DAS) 211.456 hektar dan perairan seluas 16.000 hektar. Sebanyak 54 sub-DAS menginduk di wilayah teluk ini, termasuksalahsatunyaadalah DAS SeiWain yang sudah menjadi hutan lindung – dikenal dengan Hutan Lindung Sungai Wain – dan dikelola oleh Pemkot Balikpapan. Sebanyak 31 pulau kecil berada dan menghiasasi wajah asri wilayah ini.
III.     KONTEKS MASALAH
Penggunaan sumber daya alam untuk kegiatan ekonomi yang tidak terkendali, dapat memunculkan ketidakadilan dalam pemanfaatannya, termasuk pada level tertentu dapat mengakibatkan bencana bagi kehidupan manusia.[3] Kondisi ini perlahan menjadi ancaman terhadap keragaman hayati yang terdapat di Teluk Balikpapan lantaran kebijakan pemerintah daerah dalam membuka lahan industri dan pembangunan jembatan sungai balang yang menghubungkan Kota Balikpapan dengan Kabupaten Penajam Paser Utara tidak memperhatikan dampak kerusakan lingkungan hidup dan kondisi masyarakat yang menggantungkan hidup dari hasil  sumberdaya alam yang ada di teluk Balikpapan.
Pengrusakan hutan manggrove oleh aktivitas Industri dan pembukaan lahan pembangunan jembatan sungai Balang  di Teluk Balikpapan mengakibatkan berbagai macam bencana Ekologi. Konsekuensi dari pembangunan Jembatan Pulau Balang yaitu kerusakan hutan dalam skala besar baik secara langsung maupun tidak langsung, pembukaan akses ke hutan, kebakaran lahan, pembangunan ilegal, perburuan hewan yang dilindungi dan pengembangan industri yang tidak bisa dibatasi. Pembangunan jembatan tersebut juga membuat hutan bakau di Teluk Balikpapan terisolasi dengan hutan sekunder yang merupakan tempat spesias hewan langka mencari makan. Apabila hutan bakau di Teluk Balikpapan habis dan rusak, maka Balikpapan akan kehilangan keanekaragaman hayati yang masih hidup seperti bekantan, pesut teluk, Gynacantha bartai (spesies capung baru) monyet, beragam ikan dan burung serta berbagai jenis tumbuhan.[4]  
Perlindungan hukum terhadap warga negara dalam setiap aspek kehidupan menjadi sesuatu yang penting dalam melihat hubungan antara negara dan warganegaranya. Negara sebagai organisasi kekuasaan memiliki kewenangan dalam merumuskan tata hubungan negara dan warga negara sebagai bagian dalam upaya memberikan perlindungan hukum.[5]
Pada aspek pemanfaatan sumber daya alam, hubungan antara negara dan warga negara diwujudkan dalam bentuk penguasaan negara dengan memberikan kesempatan kepada warga negara dalam memanfaatkan sumber daya alam secara adil. Negara harus menjamin adanya hak setiap orang untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat, sekaligus mendapatkan jaminan hukum dalam memanfaatkan dan perlindungan bagi setiap orang untuk tidak diganggu penghidupannya oleh aktivitas ekonomi pihak lain. Dalam perspektif ini, negara harus memiliki tanggung jawab terhadap pengelolaan lingkungan yang mencakup tiga hal, yaitu:[6]
a.    Negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam sehingga akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan
b.   Negara menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
c.    Negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap makhluk hidup utamanya manusia tidak dapat lepas dari dampak globalisasi, karena makhluk hiduplah pelaku utama dari kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Oleh karena itu, setiap manusia harus senantiasa waspada terhadap dampak yang mungkin ditimbulkan oleh kegiatan yang dilakukannya terutama dalam melakukan hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan. Aspek yang paling sensitif terhadap dampak era yang serba industri seperti sekarang ini adalah lingkungan. Besar kecilnya kegiatan manusia pasti akan berdampak pada kualitas lingkungan. Dengan demikian, manusia sebagai pelaku utama lingkungan harus senantiasa mengendalikan dan menjaga lingkungan agar tidak mengalami kerusakan.[7]
IV.     FAKTA HUKUM
Kondisi demikian, tidak berbanding lurus dengan fakta yang terjadi ancaman kerusakan lingkungan dikawasan Teluk Balikpapan tidak dapat dibendung karena kebutuhan ekonomi dan kepentingan politis penguasa pembukaan lahan industri serta pembangunan jembatan sungai balang itu sudah berlangsung dan memiliki dampak negatif bagi pelestarian lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati yang ada didalamnya. Kebijakan penetapan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Perencanaan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Balikapapan Tahun 2013-2032 mengatur larangan untuk memanfaatkan kawasan yang notabene ditetapkan sebagai kawasan lindung tidak sesuai dengan kemampuan kondisi alam sehingga kerusakan lingkungan hidup yang terjadi tidak dapat dihindari bukti nyata aktivitas yang saat ini terjadi diantaranya :[8]
1.   Kawasan Industri Kariangau (KIK) secara administratif berada dikelurahan Kariangau Kecamatan  Balikpapan Barat kawasan ini bagi Kota Balikpapan merupakan kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi yang diperuntukan sebagai sektor Industri besar di Kota Balikpapan yang telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Perencanaan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Balikapapan Tahun 2013-2032.
2.   Sebagai kawasan strategis Kebijakan pemerintah kota Balikpapan  melalui Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Perencanaan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Balikapapan Tahun 2013-2032 telah  melakukan penambahan luas  Kawasan Industri Kariangau (KIK)  kegiatan penambahan luas kawasan ini justru mengancam pelestarian ekosistem hutan manggrove yang berada di wilayah pesisir teluk Balikpapan. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Balikpapan tahun 2013-2032 penambahan luas Kawasan Industri Kariangau (KIK ) seluas 2.189 hektare di teluk Balikpapan. jika sebelumnya berdasarkan RTRW Kota Balikpapan pada Tahun 2011-2015  seluas  5.130 hektare dengan adanya penambahan luas tersebut maka total keseluruhan luas kawasan industri kariangau (KIK) saat ini seluas 7.328 Hektare termasuk kawasan hutan manggrove.
3.   Saat ini perluasan Kawasan Industri Kariangau (KIK) sampai ke daerah hulu Teluk Balikpapan, dan sudah berjalan termasuk aktivitas industri oleh perusahaan  yang mengambil keuntungan dari perluasan kawasan tersebut dengan memanfaatkan kawasan pesisir Teluk Balikpapan kemudian dalam pemanfaatanya bertindak diluar batas kewajaran tanpa memikirkan dampak buruk akbat aktivitas industri tersebut sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan dan keragaman hayati termasuk ekosistem tanaman manggrove yang berada didalamnya.
4.   Perusakan ekosistem tanaman manggrove dipesisir Teluk Balikpapan sangat berkaitan dengan perubahaan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Balikpapan 2013-2032  yang semakin membuka ruang bagi investor untuk dapat menjalankan aktivitas industri dikawasan Industri Kariangau (KIK) selain itu, perubahan tersebut juga dinilai sangat buruk dari aspek lingkungan, utamanya dari aspek perlindungan kawasan pesisir barat kota Balikpapan yang hampir semua dialokasikan untuk membangun kawasan industri, meskipun kawasan pesisir Teluk Balikpapan sangat tidak cocok untuk pembangunan industri.
5.   Bukti nyata kerusakan lingkungan hidup dan ekosistem manggrove dibatas pesisir teluk Balikpapan, saat ini sudah terjadi dan dilakukan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) yang  memulai membuka dan mengeruk tanah di hutan mangrove di Solok Puda, sepanjang sisi kanan sungai,  sebagai tempat menumpuk kontainer pelabuhan peti kemas Kariangau. Sekitar lima hektar telah ditimbun,  antara lain, lahan mangrove sekitar tiga hektar.

6.    PT Dermaga Kencana Indonesia (DKI) dari Kancana Agri Ldt. Group yang berada di Muara Tempadung saat ini  tengah melanjutkan pembangunan pabrik pengelolaan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Mereka membangun enam tangki besar, beberapa gudang dan  satu pabrik pembangunan ini mengakibatkan terjadinya Sedimentasi dan kapal yang lalu lalang cepat menghancurkan terumbu karang, bahkan tanah banyak hanyut dari lokasi pembangunan lalu, karang-karang pun mati karena tertutup sedimen dengan tebal beberapa milimeter.


7.   PT. WINA telah merusak 27,1 hektar hutan di sekitar Sungai Berenga Kanan, kebanyakan adalah hutan mangrove dan kawasan lindung di pesisir dan sepadan sungai bahkan, PT. WINA juga berencana memperluas area dimana hutan akan dibuka dan dirusak. Mereka telah menutup Hulu Sungai Berenga Kanan dengan timbunan tanah. Selain mangrove yang dirusak secara langsung akibat terkena pemotongan dan penimbunan, sangat banyak pohon mangrove yang mati kearah hulu sungai akibat penutupan sungai tersebut yang menyebabkan perubahaan sirkulasi air.
8.   Aktivitas pembangunan Jalur PLT dari arah Teluk Waru kearah pulau balang melalui pembukaan dan penebangan  hutan manggrove disepanjang pesisir Sungai Beranga dan Sungai Tempadung yang mengarah ke teluk Balikpapan mengakibatkan rusaknya lahan manggrove diwilayah tersebut.
Dari aktivitas perusahaan industri yang beroperasi di Kawasan Industri Kariangau (KIK) memanfaatkan lahan pesisir teluk Balikpapan untuk usaha produksi maupun pembangunan  telah mengakibatkan kerusakan Lingkungan dan kerusakan ekosistem hutan manggrove kawasan pesisir. Padahal  kawasan Industri Kariangau (KIK) berada dikelurahan Balikpapan Barat yang bersentuhan dengan kawasan pesisir dan ditetapkan pula berdasarkan  Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Perencanaan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Balikpapan Tahun 2013-2032 sebagai wilayah perluasan hutan lindung sungai Wain sebagaimana ditegaskan didalam pasal 39 huruf (c) Perluasan Hutan Lindung Sungai Wain sebagian berada di Kelurahan Kariangau Kecamatan Balikpapan Barat seluas kurang lebih 1.402 Ha; sedangkan huruf (d)  Rencana perwujudan pengembangan kawasan hutan lindung meliputi:
1. mengembangkan kawasan wisata alam;
2. mengembangkan wisata pendidikan alam/lingkungan hidup;
3. mengembangkan kegiatan penelitian flora fauna khas Kalimantan; dan
4. mencegah terjadinya alih fungsi lahan
          Sementara, Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Perencanaan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Balikpapan Tahun 2013-2032 juga mengatur larangan untuk memanfaatkan kawasan yang notabene ditetapkan sebagai kawasan lindung seperti ditegaskan didalam pasal  77 ayat (5) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sempadan pantai berhutan bakau/mangrove sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi:
a. diperbolehkan kegiatan pertanian dengan skala kecil;
b. diperbolehkan kegiatan kehutanan;
c. tidak diperbolehkan kegiatan bidang industri;
d. tidak diperbolehkan kegiatan perdagangan;
e. tidak diperbolehkan kegiatan perkantoran;
f. diperbolehkan terbatas kegiatan jasa perhotelan dengan KDB maksimal 50%;
          Berdasarkan ketentuan tersebut, tentunya aktivitas industri dan proyek pembangunan perusahaan yang berada di Kawasan Industri Kariangau (KIK) merupakan permasalahan hukum yang haru disikapi oleh pemerintah kota Balikpapan. Adapun permasalahan hukum yang dapat disimpulkan diantaranya:
1.   Pengalihan fungsi lahan manggrove dikawasan pesisir dan hutan daratan dikawasan Industri Kariangau (KIK) dikelurahan Kariangau Kecamatan Balikpapan Barat.
2.   Pencemaran lingkungan hidup dan sumberdaya air dipesisir akibat Pembangunan Pabrik pengolahan kelapa sawit yang kemudian mengakibatkan sendimentasi kualitas air serta mengakibatkan matinya ekosistem terumbu karang.
3.   Penebangan hutan manggrove disepanjang pesisir Sungai Beranga dan Sungai Tempadung yang mengarah ke teluk Balikpapan mengakibatkan rusaknya lahan manggrove diwilayah tersebut.
V.    PENEGAKAN HUKUM
1.   Pencemaran lingkungan hidup dan sumberdaya air di pesisir Teluk Balikpapan oleh aktivitas Industri Kariangau (KIK)
·         Pasal 54 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan & Pengelolan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, dilarang membuang limbah ke media lingkungan & dilarang membuang B3 & limbah B3 ke media lingkungan.[9]
·         Pasal 24 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tenntang Sumber Daya Air, setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan rusaknya sumber air & prasarananya, mengganggu upaya pengawetan air, dan/atau mengakibatkan pencemaran air. Selain itu setiap orang atau badan usaha juga dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya daya rusak air.[10]
·         Pasal 37 PP Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air & Pengendalian Pencemaran Air menyebutkan bahwa setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang membaung air limbah ke air atau sumber air wajib mencegaj & menanggulangi terjadinya pencemaran air.[11]
·         Pasal 30 ayat (1) Perda Provinsi Kalimantan Timur Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kualitas Air & Pengendalian Pencemaran Air menyebutan bahwa setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pencemaran air pada sumber air, pesisir atau laut wajib melakukan penanggulangan pencemaran air. Penanggulangan pencemaran air tersebut dilakukan dengan cara:[12]
a)    Menghentikan sementara sebagian atau seluruh sumber dampak yang mengakibatkan pencemaran air pada sumber air, pesisir atau laut.
b)   Menangani secara teknis sumber air, pesisir atau laut.
c)    Mengamankan & menyelamatkan masyarakat, hewan & tanaman.
d)   Mengisolasi lokasi terjadinya pencemaran air pada sumber air, pesisir atau laut sehingga dampaknya tidak meluas atau menyebar.
e)    Cara lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan & teknologi.

2.   Alih fungsi hutan  Manggrove dan hutan darat oleh aktifitas Industri Kariangau dikawasan dan pulau-pulau kecil di Teluk Balikpapan
Hutan Manggrove yang berada dikawasan pesisir Kawasan Industri Kariangau yang besentuhan langsung dengan Teluk Balikapapan merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan ekosistem hayati.  Pengalihan fungsi hutan manggrove menjadi kawasan industri jelas bertentangan dengan prinsip pelestarian dan fungsi perlindungan penyangga kehidupan Sebagaimana ketentuan didalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam ;[13]
·         Pasal 30  Kawasan pelestarian alam mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
·         Pasal 40 Peraturan Daerah Kota Balikpapan Nomor 12 Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang (RTRW) Kota Balikpapan tahun 2013-2023 menyebutkan;
(1)          Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahanya berupa kawasan resapan air.
(2)          Kawasan resapan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a seluas kurang lebih 1.031 ha terdiri; sebagian kelurahan kariangau Kecamatan Balikpapan Barat.
·           Pasal 40 ayat (1) huruf c Perluasan hutan lindung Sungai Wain sebagian berada diKelurahan Kariangau Kecamatan Balikapapn Barat seluas kurang lebih 1.402 Ha; sedangkan rencana perwujudan pengembangan kawasan hutan lindung meliputi;
(1)          Pengembangan kawasan wisata alam
(2)          Mengembangkan kegiatan flora fauna khas Kalimantan dan mencegah terjadinya alih fungsi lahan
Kerusakan hutan manggrove dan hutan daratan dikawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang berada dikawasan Industri Kariangau (KIK) serta termasuk dalam Teluk Balikpapan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;[14]

·         Pasal 28 ayat (1) Tentang Konservasi Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil diselenggarakan untuk;
a.    menjaga Ekosistem Pesisir
b.   Melindungi alur migrasi ikan dan biota laut
c.    Melindungi habitat biota laut dan
d.   Melindungi situs budaya tradisional
·         Pasal 35 Dalam pemanfaatan wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap orang secara langsung maupun tidak langsung dilarang ;
a.    Menambang terumbu karang yang menimbulkan kerusakan Ekosistem Terumbu Karang
b.   Menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem Manggrove yang tidak sesuai dengan karakteristik pesisir dan Pulau-pulau kecil.
c.    Menebang melakukan konservasi Ekosistem Manggrove dikawasan atau Zona budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis pesisir dan pulau-pulau kecil.
d.   Menebang Manggrove dikawasan konservasi untuk kegiatan industri, pemukiman dan atau kegiatan lain.
e.    Melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitar.

VI.  ANALISIS HUKUM
A.   Pencemaran lingkungan hidup dan sumberdaya air dipesisir akibat Pembangunan Pabrik pengolahan kelapa sawit yang kemudian mengakibatkan sendimentasi kualitas air serta mengakibatkan matinya ekosistem terumbu karang.
1.   Posisi Kasus
PT Dermaga Kencana Indonesia (DKI) dari Kancana Agri Ldt. Group yang berada di Muara Tempadung saat ini  tengah melanjutkan pembangunan pabrik pengelolaan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Perusahaan tersebut membangun enam tangki besar, beberapa gudang dan  satu pabrik pembangunan ini mengakibatkan terjadinya Sedimentasi air dan aktifitas  kapal yang lalu lalang cepat menghancurkan terumbu karang, bahkan tanah banyak hanyut dari lokasi pembangunan lalu, karang-karang pun mati karena tertutup sedimen dengan tebal beberapa milimeter.
2.   Pelanggaran Hukum
Pihak perusahaan yang tidak melakukan perbaikan kualitas air telah  melanggar ketentuan Pasal 96 huruf e, Pasal 97, & Pasal 98 UU Minerba, Pasal 54, Pasal 67, Pasal 68 & Pasal 69 ayat (1) huruf a,e,& f Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, Pasal 24 & Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004, Pasal 37 PP Nomor 82 Tahun 2001, Pasal 30 ayat (1), Pasal 35 ayat (1), & Pasal 36 Perda Provinsi Kalimantan Timur Nomor 2 Tahun 2011. Dengan ancaman human sebagai berikut:
·         Pelanggaran terhadap Pasal 96 huruf e, Pasal 97, & Pasal 98 UU Minerba diancam dengan sanksi administrasi berupa:
a)    Peringatan tertulis.
b)   Penghentian sementara sebagian/seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi.
c)    Pencabutan IUP,IUPK atau IPR.
·         Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
·         Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
·         Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
·         Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
·         Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
·         Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp 9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah).
·         Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
·         Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
a)    badan usaha; dan/atau
b)   orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
·         Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.
·         Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga.
·         Terhadap tindak pidana sanksi pidana yang dilakukan oleh, unutk atau atas nama badan usaha sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional.
·         Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:
a)    perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b)   penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan;
c)    perbaikan akibat tindak pidana;
d)   pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
e)    penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
·         Dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah):
a)    setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan rusaknya sumber air dan prasarananya, mengganggu upaya pengawetan air, dan/atau mengakibatkan pencemaran air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24; atau
b)   setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya daya rusak air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52.
·         Dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah):
a)    setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan kerusakan sumber daya air dan prasarananya, mengganggu upaya pengawetan air, dan/atau mengakibatkan pencermaran air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24; atau
b)   setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya daya rusak air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52.
·         Dalam hal tindak pidana sumber daya air dilakukan oleh badan usaha, pidana dikenakan terhadap badan usaha yang bersangkutan. Pidana yang dijatuhkan adalah denda ditambah dengan sepertiga denda yang dijatuhkan.
·         Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan usaha yang tidak mencegah & menagguangi terjadinya encemaran air dapat dijatuhi sanksi administrasi oleh bupati/walikota.
·         Setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 Perda Provinsi Kalimantan Timur Nomor 2 Tahun 2011 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
·         Setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan Pasal 45 Perda Provinsi Kalimantan Timur Nomor 2 Tahun 2011 dipidana dengan pidana penjara dan denda sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

B.   Pengalihan fungsi lahan manggrove dikawasan pesisir dan hutan daratan dikawasan Industri Kariangau (KIK) dikelurahan Kariangau Kecamatan Balikpapan Barat.
Posisi Kasus
kerusakan lingkungan hidup dan ekosistem manggrove  akibat pengalihakn fuungsi lahan dibatas pesisir teluk Balikpapan, saat ini sudah terjadi dan dilakukan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) yang  memulai membuka dan mengeruk tanah di hutan mangrove di Solok Puda, sepanjang sisi kanan sungai,  sebagai tempat menumpuk kontainer pelabuhan peti kemas Kariangau. Sekitar lima hektar telah ditimbun,  antara lain, lahan mangrove sekitar tiga hektar.
Selain itu, PT. WINA telah merusak 27,1 hektar hutan di sekitar Sungai Berenga Kanan, kebanyakan adalah hutan mangrove dan kawasan lindung di pesisir dan sepadan sungai bahkan, PT. WINA juga berencana memperluas area dimana hutan akan dibuka dan dirusak. Mereka telah menutup Hulu Sungai Berenga Kanan dengan timbunan tanah. Selain mangrove yang dirusak secara langsung akibat terkena pemotongan dan penimbunan, sangat banyak pohon mangrove yang mati kearah hulu sungai akibat penutupan sungai tersebut yang menyebabkan perubahaan sirkulasi air.
Pelanggaran Hukum
                   Aktivitas perusahaan Industri dan pembangunan di kawasan  pesisir  hingga teluk Balikpapan dengan pengalih fungsian lahan manggrove yang notabene berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Perencanaan tata ruang wilayah menjadi kawasan lindung namun diperuntukan menjadi kawasan industri ekonomis strategis merupakan pelanggaran hukum melanggar ketentuan perundang-undangan sebagai berikut;
·         Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Pasal 69 (1) Setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf a yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
·         Pasal 70 (1) Setiap orang yang memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan perubahan fungsi ruang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). (4) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

·         Pasal 71 Setiap orang yang tidak mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
·         Pasal 72 Setiap orang yang tidak memberikan akses terhadap kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf d, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

·         Pasal 73 (1) Setiap pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (7), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya.
·         Pasal 74 (1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72 dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72. (2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a. pencabutan izin usaha; dan/atau b. pencabutan status badan hukum.
·         Pasal 75 (1) Setiap orang yang menderita kerugian akibat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72, dapat menuntut ganti kerugian secara perdata kepada pelaku tindak pidana. (2) Tuntutan ganti kerugian secara perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan hukum acara pidana.

·         Kemudian, pemberian sanksi administratif  dipertegas melalui Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 Tentang penyelenggaraan penataan Ruang Pasal 182 (1) Setiap orang yang melakukan pelanggaran di bidang penataan ruang dikenakan sanksi administratif.  Ayat (2) Pelanggaran di bidang penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang;
b. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang yang diberikan oleh pejabat berwenang;
c. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan persyaratan izin yang diberikan oleh pejabat yang berwenang; dan/atau
d. menghalangi akses terhadap kawasan yang dinyatakan oleh peraturan perundang undangan sebagai milik umum.
·            Ayat (3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penghentian sementara pelayanan umum;
d. penutupan lokasi;
e. Pencabutan Izin
f. Pembatalan Izin
g. Pembongkaran Bangunan
h. pemulihan fungsi ruang dan atau denda administratif
·           Pasal 183 pemanfaatn ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 ayait (2) huruf a meliputi;
a.    Pemanfaatn ruang yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang
b.   Memanfaatkan ruang tanpa Izin pemanfaatn ruang dilokasi yang tidak sesuai peruntukanya.
c.    Memanfaatkan ruang tanpa Izin pemanfaatan ruang dilokasi yang sesuai peruntukannya.



IV.  PENUTUP
Penetapan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Perencanaan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Balikpapan Tahun 2012-2032 tidak menjamin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pesisir Kawasan Industri Kariangau dapat dijalankan dengan maksimal.  dengan adanya penetapan tersebut perluasan wilayah terus dilakukan meskipun kawasan Industri Kariangau (KIK) memiliki nilai strategis ekonomi untuk percepatan pembangunan daerah kota Balikpapan namun, kerusakan lingkungan hidup di pesisir juga semakin marak dan sulit dicegah terlebih pengrusakan lingkungan hidup kawasan pesisir yang notabena merupakan kawasan lindung hutan manggrove turut pula dirusak oleh aktivitas perusahaan di sektor industri dan aktivitas  proyek pembangunan jembatan Sungai Balang.
Sebagai wujud kepedulian terhadap pengelolaan lingkungan hidup Pemerintah Kota Balikapapan perlu  meninjau kembali Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Perencanaan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Balikapapn Tahun 2013-2032. Karena Peraturan ini tidak dapat menjamin dan meminimalisir kerusakan lingkungan bahkan dngan adanya Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Perencanaan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Balikapapn Tahun 2013-2032 justru melegalkan aktivitas industri yang mengancam dan merusak ekosistem Hutan Manggrove diwilayah pesisir maupun pulau-pulau kecil.
Serta, menetapkan wilayah pesisir di Kawasan Industri Kariangau (KIK) yang menjadi bagian wilayah teluk Balikpapan untuk ditetpakn sebagai kawasan Khusus Konservasi Hutan Manggrove melalui Surat Keputusan Walikota sehingga dengan adanya legalitas yang jelas terhadap kawasan pesisir Kariangau yang menjadi bagian wilayah teluk Balikpapan. Kemudian penangulangan pengrusakan lingkungan hidup dan ekosistem hutan manggrove dikawasan pesisir juga perlu dilakukan dengan mengkaji kembali Izin Lingkungan yang sudah diterbitkan. Serta menindak tegas perusahaan di sektor Industri yang beroperas tanpa memiliki AMDAL, RKL dan RPL.
Alasan mengapa pengawasan di Teluk Balikpapan tidak berhasil menghindarikan kerusakan lingkungan disebabkan oleh perencanaan Tata Ruang yang tidak memperhatikan daya dukung ekologi dan hidrologi di Teluk Balikpapan. Kerusakan di Teluk Balikpapan tidak bisa dihindari hanya dengan cara pengawasan.
  • Secara teknis, industri di bagian hulu Teluk Balikpapan tidak pernah akan bisa menjadi ramah lingkungan karena kondisi ekologis dan hidrologis tidak cocok untuk membuka lahan membangun industri tanpa menyebabkan bencana ekologis terhadap ekosistem alami.
  • Satu-satunya solusi adalah RTRW yang sesuai dengan kemampuan kondisi alam. Industri harus dibangun pada lokasi di mana dampak negatif terhadap lingkungan dapat dibatasi dan dikelola secara efektif.
  • Daerah yang tidak cocok untuk membangun industri harus dipertahankan sebagai kawasan lindung untuk pemanfaatan yang berkelanjutan, misalnya perikanan, ekowisata, konservasi dan lain.
  • Membatasi pembangunan industri di daerah Hilir Teluk Balikpapan, sampai ke pelabuhan peti kemas, Kariangau.
  • Dua perusahaan yang telah membuka lahan di luar KIK, yaitu PT MBA dan PT DKI, bisa di-enclave menjadi kawasan industri khusus di dalam kawasan lindung.
  • Jika lahan yang telah ditetapkan oleh Master Plan tidak mencukupi kebutuhan Kawasan Industri Kariangau, kawasan industri tambahan dapat dibangun sebagai bagian ’hinterland’ yang bersatu dengan Kawasan Industri Penajam / Buluminung, PPU.
  • Perlu pembahasan antara Pemkot Balikpapan dengan Pemkab Penajam Paser Utara, bahkan Pemerintah pusat dalam menyelesaikan masalah tersebut sehingga bisa mempengaruhi Blue Book Nasional yang dibuat oleh Bappenas.
  • Perlu ada Feasibility Study untuk Jalan Trans Kalimantan lewat Tanjung Batu yang akan mengingat kondisi daerah tersebut dan sangat realistis untuk di jadikan alternatif jembatan dan Jalan Trans Kalimantan.


Penulis
Fajrian Noor
Wakabid Advokasi Hukum DPC GMNI Balikpapan
05 Februari 2015













Pabrik-penyulingan-Sawit-yang-berada-di-Teluk-Balikpapan-diluar-konsesi-teluk (Hendar)



[1] Diakses dari: http://www.forda-mof.org/index.php/berita/post/910#sthash.XXCtF2wr.dpuf pada tanggal 20 Maret 2015 Pukul :21.00 Wita
[2] Diakses dari: http://www.forda-mof.org/index.php/berita/post/910#sthash.XXCtF2wr.dpuf pada tanggal 20 Maret 2015 Pukul :21.00 Wita


[3] Muhamad Muhdar, Penggunaan polluter pays principle dalam penyelesaian pencemaran laut dari sumber pengelolaan minyak dan gas bumi,”Artikel, hlm.
[4]Diaksesdari: http://id/wikipedia.org/wiki/kerusakan_hutan_bakau_di Balikpapan#cite_not-15Pada Tanggal 4 Januari 2015 Pukul 19.00 Wita.
[5] Sri Sumantri M, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara, Bandung: Alumni, hlm. 47

[6] Gunanegara, 2008, Rakyat & Negara dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, Jakarta, Tatanusa, hlm. 30
[7] Rafael Edy Bosko, Hak-hak Masyarakat Adat Dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya Alam,2006, ELSAM, Jakarta, hlm. 49..
[8] Dihimpun pada tanggal 5 Februari 2015 dari berbagai sumber yang dimuat surat kabar harian Tribun Kaltim, Anatara News, Kaltim Post, Koran Kaltim.
[9] Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan & Pengelolan Lingkungan Hidup
[10] Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tenntang Sumber Daya Air
[11] PP Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air & Pengendalian Pencemaran Air
[12] Perda Provinsi Kalimantan Timur Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kualitas Air & Pengendalian Pencemaran Air
[13] Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam
[14] Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.